KODE-4

Friday, June 8, 2007

Mempertimbangkan Estetika Ruang Terbuka Kota Padang

OLEH SUDARMOKO

Penempatan berbagai macam reklame dan baliho atau informasi lain yang memanfaatkan ruang terbuka sebagai medianya tak jarang ditata tanpa mempertimbangkan estetika. Spanduk-spanduk dipasang di tempat-tempat yang tidak disediakan secara khusus, dan sering kali dipasang secara melintang di atas jalan, yang membahayakan pemakai jalan bila sewaktu-waktu jatuh. Demikian juga, tak ada aturan dan tindakan yang tegas untuk reklame atau baliho yang sudah kedaluarsa atau menyalahi tata ruang yang disediakan. Tampaknya, asal sudah membayar pajak, pemasang iklan di ruang terbuka ini bebas untuk menempatkannya dimana saja.

Demikian juga dengan jembatan-jembatan penyeberangan yang dibangun di sekitar tempat-tempat keramaian (mal), yang dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kemacetan yang terjadi, tidak banyak dimanfaatkan. Orang (pengunjung) lebih banyak menerobos jalan raya, walaupun sudah dipagar dengan kokoh untuk membuat orang terbiasa dengan jembatan penyeberangan. Kasus jembatan penyeberangan ini juga memiliki nuansa tersendiri, seperti halnya gedung-gedung pemerintahan dan pelayanan publik yang memiliki lantai lebih dari satu yang tidak menyediakan lift. Nuansa itu adalah ketiadaan rasa peduli bagi masyarakat diffable. Mereka susah mengakses tempat-tempat tersebut.
Tak ada upaya, tampaknya, dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap hal ini, pemerintah dan pengembang, untuk melakukan terobosan yang dapat mempertimbangkan kebutuhan dan rasa estetika. Jika hal ini dibiarkan, maka kota ini akan terlihat centang perenang dan carut marut, seperti coretan-coretan yang tak jelas bentuknya.
Bersangkut dengan estetika kota, terutama untuk tempat-tempat terbuka, adalah dengan membangun dan memasang karya-karya seni rupa, seperti patung, instalasi, maupun monumen-monumen kecil, di tempat-tempat yang dipilih dengan beberapa alasan seperti sejarah, batas wilayah, fungsi gedung atau wilayah, dan sebagainya. Selain untuk memperindah kota, pemanfaatan ini juga dapat dijadikan penanda bagi masyarakat, dan juga pengunjung kota. Demikian juga dengan pengembangan-pengembangan hunian yang ada, dapat disisihkan sedikit tempat untuk meletakkan karya seni di ruang terbuka sehingga para penghuninya akan memiliki kebanggaan dan penanda yang khas.
Biasanya, dalam benak orang, akan menyebutkan salah satu penanda yang khas atau menonjol untuk menyebutkan lokasi yang mereka tuju. Katakanlah, orang akan mengatakan nama-nama Minang Plaza, Gubernuran, Lippo, Taqwa, Matahari, Rocky, Gramedia, sebagai contoh, untuk menunjuk tempat ketika membuat janji untuk bertemu. Dengan menempatkan karya seni di tempat-tempat tertentu di dalam kota juga akan meninggalkan kesan dan kenangan yang baik bagi para pengunjung kota dari luar daerah.
Keberadaan ikon-ikon yang indah ini juga dapat menjadi penanda-penanda bagi orang dalam memposisikan diri di tengah-tengah kehidupan kota. Akan menambah kesan yang hangat dan cita rasa estetika dari kota yang tengah melaju menjadi metropolitan atau megapolitan ini. Bila hal ini tidak dipertimbangkan, maka masyarakat akan kekurangan cita rasa estetika dan jati diri di tengah lingkungannya.
Cukup banyak ahli-ahli tentang tata ruang dan seni dekoratif ruang terbuka ini di berbagai instansi dan lembaga pendidikan dan penelitian di Sumatra Barat ini. Lalu kenapa mereka tidak dilibatkan atau dimintai pendapat dan opini tentang penataan ruang terbuka di Kota Padang, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran-kekhawatiran seperti ini. Boleh jadi rekomendasi mereka sudah ada, dan biasanya begitu yang terjadi dalam proses pembangunan. Namun nyatanya masih kita dapati berbagai fakta pengembangan yang begitu saja dilakukan tanpa ada pertimbangan konsep estetikanya.
Salah satu contoh bagaimana upaya pertimbangan konsep estetika dilakukan di ruang terbuka adalah dengan membangun atap bangunan kantor pemerintahan dan layanan publiknya dengan bentuk gonjong. Tentu saja hal ini juga mengandung nuansa politis dengan terkesannya upaya untuk menghadirkan simbol dan identitas adat ke wilayah ibu kota provinsi ini, yang menjadi satelit bagi daerah-daerah lain di Sumatra Barat, yang dikonkretkan dengan pusat administrasi bagi daerah-daerah di seluruh Sumatra Barat. Terlepas dari itu, setidaknya upaya ini memberikan nuansa estetis, terutama untuk ruang terbuka, yang dapat dikembangkan lagi dengan upaya-upaya lain dengan memanfaatkan wilayah dan seniman yang ada.***
Sudarmoko, peminat masalah urban symbolism, tinggal di Padang.

No comments:

Post a Comment