KODE-4

Wednesday, June 27, 2007

Membaca Seni Ritual Mentawai Versus Seni Minangkabau dalam Wacana Intra-Kultural


OLEH SAHRUL N., S.S., M.Si, pengajar STSI Padangpanjang
I
Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh etnis (Melayu) Minangkabau, tetapi juga suku pedalaman yang berdiam di kepulauan Mentawai yang adat dan agamanya jauh berbeda dengan Minangkabau. Minangkabau diidentikan dengan agama Islam, sementara Mentawai masih dihuni sebagian besar agama nenek moyang. Bahkan sampai pada makanan pokokpun berbeda. Orang Minang beras menjadi makanan pokok, sementara Mentawai adalah sagu.

Begitu juga dengan bentuk kesenian yang berkembang di Mentawai yang lebih berorientasi pada ritual keagamaan untuk keseimbangan alam. Sama dengan kebiasaan suku pedalamam lainnya. Minangkabau yang hanya berjarak sepuluh jam perjalanan dengan kapal dari Mentawai seni lebih diarahkan pada permainan anak nagari.
Dari perbedaan yang cukup menyolok ini, STSI Padangpanjang mencoba melihat benang merah bentuk seni yang bisa mengkolaborasikan seni ritual Mentawai dengan seni Minangkabau sehingga membentuk warna baru yang menjadi alternatif dari pengembangan seni Sumatra Barat. Seni sebagai bagian dari kebudayaan tentu akan selalu harus dikembangkan sejauh nilai dasarnya tidak hilang.
Kebudayaan masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan itu sendiri. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam kebudayaan tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks kebudayaan yang ada. Perubahan kebudayaan dapat berjalan secara lamban, agak lama, dan cepat.
Seni di Indonesia merupakan refleksi kebhinekaan yang sangat besar. Faktor geografis dan historis menghalangi perkembangan seni yang homogen dengan arah garis evolusi yang tunggal. Fenomena budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan kehidupan yang berbeda. Sebagian nampak kuna tetapi masih tetap vital; pada bagian yang lain tampil tua dan sudah nampak akan punah atau mengalami transformasi-transformasi yang radikal; sedangkan bagian yang lain lagi lahir baru serta tumbuh dengan hebat dan pesat[1].
Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan budaya, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik-teknik baru, tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu perlu adanya pembaharuan sudut pandang dalam mengamati seni pertunjukan di Indonesia.
“Masa yang akan datang diperlukan cara berpikir dan sikap pandang baru yang melihat seni tradisi dan modern sebagai suatu rangkaian kesatuan atau kontinuum (continuum). Memasuki milinea ketiga batas pemisah antara kesenian tradisi dengan yang modern akan semakin tidak jelas (kabur). Akibat proses globalisasi, interaksi budaya (termasuk kesenian), baik antar bangsa (inter-cultural) maupun antar suku bangsa (intra-cultural), menjadi semakin akrab sehingga perbedaan-perbedaan kesenian seperti di atas, yang telah banyak menimbulkan “prahara seniman”, akan tergusur oleh proses interaksi, adaptasi, adopsi, dan bahkan oleh “perkawinan” berbagai unsur seni budaya”[2].
Istilah intra-kultural memang tidak sepopuler interkulturalisme, transkulturalisme dan multikulturalisme. Istilah ini kelihatannya tepat dalam usaha mencapai pertukaran dialektis antar etnis yaitu etnis Mentawai dan etnis Minangkabau. Istilah ini tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa ia mengandung dua budaya yang saling bersentuhan di dalamnya, tetapi ia dapat memiliki lebih dua budaya yang berbeda yang berinteraksi, merangsang dan menjawab pertanyaan seseorang terhadap orang lain. Istilah ini akan berguna dalam melihat "benturan-benturan" budaya yang telah memegang peranan penting selama beratus-ratus tahun. Sementara istilah transkulturalisme dan multikulturalisme tanpak tidak menunjukan proses dialektika secara lebih jelas. Kedua istilah ini dapat menjangkau di luar lingkupnya, namun istilah ini tidak dapat menampilkan suatu percampuran "ramuan-ramuan" budaya yang berbeda.
Intra-kultural merupakan persoalan keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas dan mencegat kesadaran masyarakat terbuka. Istilah ini merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan yang intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi[3].
Rustom Barrucha[4] menegaskan bahwa silang budaya bukanlah otonom. Bukan juga sebuah permainan yang adil, yang sejauh ini pada prakteknya dimungkinkan lewat pertukaran dengan dasar yang tidak adil. Sampai hari ini silang budaya berlanjut untuk dijadikan teori, retorika, konsep, kerangka, peta, dan dana, hampir di seluruh lokasi dunia pertama.
Untuk istilah intra-kultural ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisannya, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya[5]. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep intra-kultural harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Jadi arah yang dikemukakan Bagus merupakan keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.
Banyak ahli yang tidak begitu mempersoalkan perbedaan istilah intra-kultural, interkulturalisme, multikulturalisme, transkulturalisme, cross budaya, hibrida budaya dan sebagainya. Kesemuanya dianggap sebagai persilangan budaya[6]

II

Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari Propinsi Sumatra Barat yang saat ini telah menjadi Kabupaten baru. Dulunya masih bergabung dengan Kabupaten Padang Pariaman. Siberut merupakan pulau terbesar, kemudian pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Luas keempat pulau itu keseluruhan sekitar 7.000 km2. kecuali itu masih ada sejumlah besar pulau kecil yang sebagian ditanami pohon kelapa, tetapi tidak didiami, hanya berfungsi sebagai ladang.
Walaupun jarak dari Pantai Padang ke Mentawai sekitar 100 km, akan tetapi kebudayaan meraka sangat jauh berbeda. Menurut Schefold[7] bahwa kekunoan yang aneh dari wujud kebudayaan di Mentawai sudah menarik perhatian orang-orang yang datang ke situ pada abad ke-18. Mereka terheran-heran ketika menyadari bahwa orang Mentawai lebih banyak menampakan kemiripan dengan penduduk kepulauan Hawaii, Tahiti serta kepulauan Polynesia lainnya yang terletak jauh di sebelah timur, dibandingkan dengan Sumatra atau Jawa yang bertetangga dengan Mentawai.
Orang Mentawai tidak mempunyai gambaran jelas tentang asal mula dunia tempat mereka hidup. Walaupun mereka mengenal beraneka ragam kisah mitologis yang kadang-kadang sebagai tema utama, dan kadang-kadang dengan sepintas lalu bercerita tentang terciptanya jagat raya, perihal tentang asal mula berbagai gejala atau mengenai riwayat manusia, namun dari segala mitos tidak dapat dijabarkan secara menyeluruh karena ada sebagian penting dan yang sepele dan sebagian lainnya dibiarkan kabur. Namun hal ini bagi orang Mentawai tidak membuat gangguan yang berarti. Mitos-mitos tersebut bagi orang Mentawai bukanlah dongeng tetapi betul-betul riwayat yang pernah terjadi.
Sementara batas alam atau luas wilayah Minangkabau menurut kisah tambo dilukiskan dengan cara yang tidak mudah diperkirakan. Dikisahkan bahwa batas Minangkabau itu dimulai dari sikilang air bangis sampai taratak air hitam, dari sipisok-pisok pisau hanyut sampai sialang bersengat besi, dari riak yang berdebur sampai ke durian ditekuk raja[8].
Batas yang abstrak ini memang memberikan makna yang beragam. Ada beberapa wilayah atau tempat yang sepertinya nyata ada, sehingga dapat menimbulkan fantasi atau tafsiran-tafsiran dalam memperkirakan batas wilayah Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau menyebut wilayahnya dengan alam Minangkabau. Wilayah Minangkabau terdiri atas darek, pasisia, dan rantau. Darek, adalah daerah yang berada di sekitar Gunung Singgalang, Sago, dan Merapi yang terdiri atas tiga luhak, yakni Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto. Darek ini disebut juga sebagai daerah asal Minangkabau. Pasisia, adalah daerah yang berada di sepanjang pantai bagian barat-tengah pulau Sumatra, yang dimulai dari bagian utara Provinsi Bengkulu sampai bagian selatan dari Provinsi Sumatra Utara atau sebagian daerah Tapanuli Selatan. Rantau, adalah daerah tempat aliran sungai yang bermuara ke Timur yang berbatasan dengan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, bahkan sampai ke Malaysia, yang disebut sebagai Rantau nan Sambilan (Negeri Sembilan).
Pasisia dan rantau penyebutannya sering disatukan menjadi rantau saja. Darek sebagai daerah asal, rantau sebagai daerah perkembangan atau daerah taklukan. Hal ini tercermin dalam aturan adat Minangkabau yang menyatakan bahwa luhak ba rantau (luhak mempunyai rantau). Orang-orang yang mendiami daerah rantau dan pasisia awalnya adalah orang darek. Akibat perkembangan penduduk dan mendesaknya kebutuhan hidup dan perekonomian, maka beberapa keluarga yang berasal dari darek melakukan migrasi. Masyarakat Luhak Tanah Data dan Luhak Agam memilih pindah ke pantai barat yang disebut pasisia, dan masyarakat Luhak Tanah Data dan Luhak Limo Puluah Koto pindah ke daerah timur yang disebut rantau.
Dalam tambo dikisahkan bahwa alam Minangkabau mempunyai luhak nan tigo (luhak nan tiga), yakni Luhak Tanah Data (Tanah Datar), Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah (Lima Puluh) atau Limo Puluah Koto (Lima Puluh Kota)[9]. Setiap luhak mempunyai ciri atau identitas sendiri yang saling mereka pertahankan dan banggakan sebagai alat pemersatu dan pendorong semangat perlombaan dalam memelihara harga diri mereka sendiri. Perbedaan ciri antara luhak-luhak akan terlihat pada bentuk rumah adat, model pakaian resmi penghulu atau pengantin dan pengiringnya.
Ciri yang dilukiskan tambo tentang ketiga luhak itu ialah (1) Luhak Agam memiliki ciri buminya hangat, airnya keruh, ikannya liar, (2) Luhak Tanah Data bercirikan buminya lembang, airnya tawar, ikannya banyak, (3) Luhak Limo Puluah bercirikan buminya sejuk, airnya jernih, ikannya jinak[10]. Ungkapan tersebut mengartikan bahwa masyarakat Luhak Agam memiliki watak panas dan heterogen. Suatu nagari dengan nagari yang lainnya hidup dalam persaingan yang sangat tajam. Luhak Tanah Data memiliki masyarakat yang ramai dengan status yang tidak merata dan daerah ini adalah pusat Minangkabau. Luhak Limo Puluah mempunyai masyarakat yang homogen dan penuh kerukunan.
Bila dihubungkan dengan sistem administrasi pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatra Barat sekarang, ketiga luhak tersebut termasuk ke dalam empat Kabupaten dan empat Kotamadya. Luhak Agam memiliki Kabupaten Agam dan Kotamadya Bukittinggi. Luhak Tanah Data memiliki Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, Kotamdya Padangpanjang, dan kotamadya Solok. Luhak Limo Puluah memiliki kabupaten Lima Puluh Kota dan Kotamadya Payakumbuh. Perbandingan di atas tidak persis sama, sebab ada daerah yang secara budaya tidak termasuk wilayah luhak, namun secara administratif dimsukkan. Contohnya Tiku yang merupakan daerah rantau, namun secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Agam. Begitu juga dengan daerah Tandikek yang wilayah budayanya adalah budaya luhak Agam, namun secara administratif termasuk Kabupaten Padang Pariaman yang dikategorikan daerah rantau.
Luhak terdiri atas beberapa nagari dengan syarat bahwa nagari tersebut harus memiliki pandam pakuburan (TPU), masjid, pasar, dan sekurang-kurangnya didiami oleh empat suku yang berbeda[11]. Jika suatu kawasan belum memiliki keempat syarat tersebut, daerah tersebut belum bisa dinamakan nagari, dan masih dinamakan dengan dusun, koto atau taratak.
Nagari merupakan wilayah otonom dan bisa memiliki perbedaan adat. Hal ini sesuai dengan mamangan adat bahwa adat salingka nagari, pusako salingka kaum (adat selingkar negeri, pusaka selingkar kaum). Nagari dikepalai oleh suatu lembaga yang disebut Kaampek Suku yang merupakan wakil dari masing-masing suku yang menentukan kebijaksanaan dalam nagari.
Perbedaan adat yang terjadi antara satu nagari dengan nagari yang lain bukan tidak menyisakan persamaan. Adat di Minangkabau terbagi atas empat yaitu adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan taradat, dan adat istiadat. Adat nan sabana adat adalah adat yang asli seperti hukum alam yang tidak pernah berubah. Adat nan diadatkan adalah undang-undang dan hukum. Dua jenis adat ini merupakan adat yang berlaku bagi seluruh nagari.
Adat nan taradat adalah aturan yang dilahirkan berdasarkan mufakat oleh masyarakat yang memakainya, sedangkan adat istiadat adalah kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat dan yang berhubungan dengan upacara (bersifat seremonial). Dua jenis adat yang terakhir ini kemungkinan berbeda antara satu nagari dengan nagari yang lain sangat besar dan masing-masing masyarakat mengakui adanya perbedaan tersebut serta saling menghormati. Jika terjadi silang budaya seperti perkawinan antar nagari maka kedua belah pihak akan melakukan kompromi untuk mencari jalan keluarnya, adat mana yang akan dipakai.
Secara etnografis, rantau adalah wilayah Minangkabau yang terletak di luar wilayah luhak nan tigo. Secara administratif wilayah rantau hanya sebagian saja yang masuk wilayah Sumatra Barat. Rantau timur hanya meliputi Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan rantau barat meliputi Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kotamadya Padang. Wilayah rantau yang lain termasuk wilayah administrasi pemerintahan Bengkulu, Aceh, Riau, Jambi, Sumatra Utara, dan Negara Bagian Negeri Sembilan Malaysia.
Daerah rantau bagian barat menghadap ke samudera Indonesia berupa dataran rendah yang menyusuri pantai barat Sumatra, mulai dari Bengkulu bagian utara sampai Aceh bagian selatan. Daerah rantau bagian timur mengikuti aliran sungai yang menghadap ke selat Malaka sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Tentang Negeri Sembilan sebagai daerah rantau karena dalam sejarah Minangkabau dinyatakan bahwa pembesar dari kerajaan Pagaruyung yang bernama Tuan Mangkudum bertanggungjawab dalam membidangi agama Islam di sini[12].
Secara administratif perbedaan antara luhak dengan rantau adalah luhak mempunyai penghulu, sedangkan rantau memiliki raja, namun raja lebih bersifat kultural. Menurut Navis[13] yang membedakan daerah rantau dengan luhak ialah dari sistem pemerintahannya, dapat dijumpai dalam pepatah luhak bapanghulu, rantau barajo (luhak perpenghulu, rantau beraja). Konsekuensi dari sistem tersebut, nagari di wilayah rantau dipimpin oleh raja yang ditunjuk dan diangkat oleh kerajaan pusat di Pagaruyung. Raja-raja di rantau dijabat secara turun temurun menurut sistem patrilineal dengan gelar jabatan seperti Rang Kayo dan Tuah. Ini terdapat di wilayah rantau sebelah timur. Gelar raja di rantau sebelah barat adalah Rang Gadang dan Bagindo, bahkan ada yang bergelar Rajo yang ditambah di belakangnya menjadi Rajo Mudo dan Rajo Kaciak. Gelar Rajo biasanya diberikan kepada penguasa nagari di rantau yang berasal dari keturunan raja Pagaruyung.

III

Di Mentawai tidak dikenal fungsi khusus sebagai seniman. Karena segala bentuk seni selalu dikaitkan dengan dunia ritual keagamaan yang semua orang harus bisa melakukannya. Barang-barang yang ditampikan seperti ukiran kebanyakan dibuat sendiri oleh pemiliknya dalam bahasa orang Mentawai disebut sibakkat yang berarti pencipta. Adakalanya mereka butuh bantuan orang lain tetapi sifatnya hubungan kerja yang dibayar dalam bentuk makan-makan bersama.
Ritual terbesar yang dimiliki oleh orang Mentawai adalah upacara puliaijat, yaitu perayaan religius yang besar dari kelompok uma. Alasan lahiriah untuk mengadakan upacara ini biasanya adalah terjadinya suatu peristiwa yang luar biasa, seperti munculnya pertanda buruk, pembelian gong, kematian salah seorang kerabat, dan sebagainya. Karena persiapan-persiapan untuk perayaan tersebut cukup lama, maka sejumlah peristiwa dikumpulkan menjadi satu perayaan. Perayaan puliaijat yang benar-benar lengkap berlangsung selama beberapa minggu. Selama perayaan masyarakat uma yang bersangkutan tidak boleh melakukan kegiatan yang bercorak produktif.
Perayaan puliaijat dipimpin seseorang yang diberi gelar rimata (pemimpin upacara dari kelompok uma). Rimata biasanya pria yang sudah berumur dan paling hafal mantra-mantra, ia yang melakukan tindakan-tindakan ritual tertentu, mewakili segenap hadirin.
Puliaijat selalu dilangsungkan dalam lingkungan yang tertutup secara mutlak. Apabila perayaan sudah dimulai, orang luar tidak boleh lagi menginjakan kaki dalam uma. Hanya pada pembukaan upacara saja mereka mengundang dukun dari kelompok uma yang lain. Lalu mereka harus meninggalkan upacara dengan mambawa daging babi sebagai ucapan terima kasih.
Puncak upacara puliaijat adalah pemanggilan roh dalam bentuk tarian musikal dan nyanyian. Penanda bahwa roh telah datang adalah adanya sejumlah orang yang mengikuti upacara mengalami trance. Kemudian mereka mengajak roh melakukan tarian-tarian. Gendang ditabuh dengan bunyi yang khas dengan iringan genta yang dimainkan rimata atau sikerei. Semuanya adalah bertujuan mengharmoniskan hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sang pencipta (Tuhan).
Sementara di Minangkabau seni ritual yang masih ada sampai saat ini diantaranya adalah dikie dan ratik. Tetapi wujudnya tidak sama dengan ritual Mentawai yang memakai konsep keagamaan nenek moyang. Kesenian dikie dan ratik lebih berorientasi pada menyebut dan menganggungkan asama Allah dalam Islam. Ratik Tulak Bala misalnya merupakan usaha manusia menganggungkan Allah supaya manusia dijauhkan dari bencana. Bencana tersebut biasanya disebabkan oleh ulah manusia yang menghancurkan keharmonisan.

IV

Dari konsep menjaga keseimbangan (keharmoniasan) antara hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan-nya ini kolaborasi seni bisa diciptakan antara seni ritual Mentawai dengan seni Minangkabau. Konsep seni ritual bumi mencoba meramu komponen yang bisa disatukan antara seni ritual Mentawai dengan seni Minangkabau dan juga tidak menutup kemungkinan untuk masuknya konsep seni modern maupun kontemporer.
Melihat perkembangan Mentawai saat ini (apalagi telah menjadi kabupaten sendiri) akan ada perubahan besar yang akan terjadi di Mentawai untuk itu perlu adanya pengolahan yang besar untuk kepentingan menjaga tradisi yang selama ini ada. Karena melihat model kebudayaan di Mentawai ada indikasi bahwa akan banyak perubahan yang menuju pada penghilangan identitas lokal, karena umumnya rasionalitas belum terbentuk.
Bentuk yang ditawarkan juga tidak bisa memberi label terhadap seni tertentu. Seluruh unsur seni (tari, musik, teater dan sebagainya) menyatu dalam bentuk satu pertunjukan. Hal ini biasa terjadi dalam kesenian tradisional dimanapun. ***

Padangpanjang, 2005




[1] Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Prof. Dr. R.M. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hal. xx
[2] Dibia, I Wayan. 1999. Seni Di Antara Tradisi dan Modern. Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Madya Pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Bali. Hal. 2
[3] Rahzen, Taufik. 1998/1999. “Keragaman dan Silang Budaya: Mencari beberapa Agenda”. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX: Bandung. Hal. viii
[4] Barrucha, Rustom. 1998/1999. “Interkulturalisme dan Multikulturalisme di Era Globalisasi: Diskriminasi, Ketidakpuasan, dan Dialog”. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX: Bandung. Hal. 14
[5] Bagus, I Gusti Ngurah. 2001. "Reformasi, Multikulturalisme, dan Masalah Politik Bahasa di Indonesia". Makalah Seminar di Program Studi S2 dan S3 Kajian Linguistik Universitas Udayana Denpasar-Bali pada tanggal 25 Mei 2001. hal. 9-11
[6] Rahzen. op.cit
[7] Schefold, Reimar. 1991. Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai. Balai Pustaka: Jakarta. Hal. 13
[8] Navis, A..A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press. Hal. 53-54
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Hamka. 1985. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hal. 11
[13] Navis, loc.cit.hal 105

No comments:

Post a Comment