KODE-4

Wednesday, June 13, 2007

Gus tf: Melintas dari Sudut Kota Kecil

OLEH IVAN ADILLA, staf pengajar Fak Sastra Unand
Guf tf (Payakumbuh, 13 Agustus 1965) adalah penyair, cerpenis dan novelis. Sastrawan dengan nama asli Gustafrizal Busra ini menjalani pendidikan dasar hingga menengah di kota kelahirannya, Payakumbuh. Ia kemudian melanjutkan studi di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, dan tamat pada 1994. Ia memutuskan untuk menjalani profesi sebagai pengarang dan menetap di Payakumbuh. Dia sering diundang untuk membacakan sajak-sajaknya di Padang, Jakarta serta beberapa kota lain.

Pengarang ini menggunakan dua nama yang berbeda untuk dua genre karyanya; untuk karya prosa ia menggunakan Gus tf Sakai, sedangkan untuk karya puisi ia mencantumkan nama Gus tf, sementara nama aslinya hanya dipakai untuk dokumen-dokumen resmi.
Sebagai pengarang, Gus telah meraih banyak penghargaan atas karya-karyanya. Sejak 1985-1999, 2 novel, 7 novelet dan 14 cerita pendeknya memenangkan hadiah dan penghargaan dalam sejumlah sayembara penulisan yang diselenggarakan oleh berbagai media, seperti Femina, Gadis, Matra, Hai, juga Pusat Kajian Humaniora-UNP serta beberapa lembaga lainnya. Pada 1996 ia meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, dan Hadiah Sastra Lontar diperolehnya tahun 2001. Pada tahun 2004, dalam usia 39 tahun, Gus meraih SEA Write Award, hadiah sastra untuk pengarang di negara-negara ASEAN. Tahun 2005 Gus dijadwalkan untuk mengikuti International Writing Program di The University of Iowa, Amerika Serikat, tetapi kemudian dibatalkan dengan alasan yang kurang jelas. Informasi yang sampai padanya adalah, “Washington belum bisa menerima Anda tahun ini, mungkin pada kesempatan yang lain”.
Gus mulai menulis saat duduk di sekolah dasar pada usia 13 tahun. Karyanya yang telah dipublikasikan berupa sajak, cerpen, novelet dan novel. Sajak-sajak awalnya banyak dimuat di majalah Hai (Jakarta), Ruang Kebudayaan koran Singgalang dan Haluan (Padang), sedangkan prosanya berupa cerita pendek dan novelet diterbitkan pada majalah Gadis, Femina, Matra, dan Hai. Cerpen dan sajaknya kemudian dipublikasikan melalui berbagai surat kabar seperti Republika, Kompas, Media Indonesia, The Jakarta Post, Berita Buana, Suara Karya, Pelita, Mutiara, juga majalah Horison, Kalam, Jurnal Puisi dan Ulumul Quran. Beberapa karya Gus telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, Arab, dan Portugis.
Beberapa prosanya telah dibukukan. Novel remaja yang merupakan karya awalnya adalah Segi Empat patah Sisi (Jakarta: Gramedia, 1991), Segitiga Lepas Kaki (Jakarta: Gramedia, 1991), Ben (Jakarta: Gramedia, 1992). Novelnya yang telah dibukukan Tambo (Sebuah Pertemuan) (Jakarta:Grasindo,2000). Antologi cerpennya yang pertama adalah Istana Ketirisan (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), sedangkan antologi cerpennya Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999) meraih hadiah Sastra Lontar 2001 dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, The Barber and Other Short Stories (Jakarta: The Lontar Foundation). Beberapa cerpennya juga dimuat dalam antologi bersama, di antaranya dalam beberapa nomor cerpen pilihan Kompas. Beberapa noveletnya diterbitkan dalam antologi, Tiga Cinta, Ibu ( Jakarta: Gramedia).
Kekuatan Gus tf Sakai sebagai penulis prosa terlihat sejak dari beberapa novel remaja dan noveletnya dipublikasikan. Karya awal itu memperlihatkan kesungguhan dan nuansa yang berbeda dari kecenderungan umumnya cerita remaja yang melankolis dan cair. Melalui teknik bercerita yang mengalir ia menyusupkan perenungan menuju ke pendalaman makna kisah. Karyanya yang kemudian menarik perhatian pengamat karena kemampuan bahasa, tema yang dipilih serta teknik penceritaannya. Cerpen-cerpennya merupakan perpaduan antara bahasa puitik dengan teknik penceritaan yang terjaga. Bahasanya efektif, padat serta dipenuhi monolog batin. Ceritanya bergerak melintasi wilayah geografis, gender, sosial dan budaya dengan deskripsi yang detil terhadap aspek visual dan batin tokoh-tokohnya. Cerita dibangun dalam alur yang mengalir dan menggugah rasa ingin tahun pembaca.
Sebagian sajaknya dibukukan dalam Sangkar Daging (Jakarta: Grasindo,1997), sedangkan yang lainnya tersebar dalam berbagari antologi bersama yang diterbitkan oleh berbagai lembaga dan organisasi kesenian. Gus merupakan penyair termuda yang karyanya dimuat dalam buku Ketika Kata, Ketika Warna (Jakarta: Yayasan Ananda), sebuah buku yang menghimpun 50 karya penyair Indonesia sejak dari Hamzah Fansuri. Kekuatan sajak Gus tf adalah pada kandungan paradoks dan metaforanya yang efektif dan fungsional. Melalui sajak-sajaknya ia mendeksripsikan paradoks yang dipikirkannya, sehingga sajaknya ibarat medan dialog tentang masalah yang diungkapkannya. Secara persuasif ia mendesak pembaca untuk masuk dan mengalami peristiwa yang ia sajikan dalam sajaknya. Teknik seperti itu mengajak pembaca untuk menyadari dan memberikan kesadaran, bukan pemahaman.
Karya terbarunya, Laba-laba (Jakarta:Gramedia), Daging Akar (Jakarta: Penerbit Buku Kompas) dan Ular Keempat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas).

No comments:

Post a Comment