KODE-4

Wednesday, June 27, 2007

Kesenian Tradisi Indonesia dalam Wacana Kebinnekaan

(Catatan Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003)
OLEH SAHRUL N
Wilayah Indonesia yang kaya dengan pulau-pulau serta suku-suku bangsa, juga kaya dengan jenis-jenis kesenian tradisional. Jenis kesenian tradisional yang telah mapan dan sangat erat hubungannya dengan tradisinya merupakan kesenian yang kekuatan daya hidupnya tergantung dengan kebesaran budaya dan tata masyarakat dan budaya yang mendukungnya. Kesenian tradisional (traditional arts) tak lepas dari lingkungan yang menghidupinya. Khasanah pertunjukannya adalah rakyat setempat dan mitologi yang berkembang di daerah yang bersangkutan. Sikap sosial para pendukungnya masih dipengaruhi kultur lingkungan, kepercayaan-kepercayaan kepada leluhur dan sebagainya.

Hal tersebut di atas terlihat dalam Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003 (FNSP 2003) pada tanggal 19-21 Oktober 2003 di STSI Padangpanjang, Sumatra Barat. Acara ini dihadiri oleh 20 Provinsi, namun yang tertera dalam katalog hanya ada 15 Provinsi, yaitu Banten, Kaltim, Jatim, Sulteng, Yogyakarta, Sumut, Riau, Babel, NTT, Lampung, Sumbar, NAD, Sumsel, Jambi, dan Jabar. FNSP 2003 ini diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam menyemarakan Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi. Dari 20 pertunjukan tersebut terpilih 5 penampil terbaik yaitu NAD, Yogyakarta, Jatim, Bali, dan Papua. Sedangkan penampil favorit diraih oleh utusan Jabar.
Seniman-seniman tradisi dalam berkreasi akan menjadi tokoh-tokoh yang eksistensialis. Dasar filsafat dan pandangan hidup yang horizontal dan lugu. Namun dalam keluguan itu akan ada semacam keangkuhan yang fanatik terhadap dirinya. Umumnya kesenian tradisional dalam memainkan perannya sangat meyakini akan keberadaan tokoh yang sedang dimainkan. Hal ini terlihat dari penampilan utusan Yogyakarta yang berkait dengan keyakinan yang ada dalam diri seniman tersebut. Sikap menyesuaikan diri dengan peran dan lakon adalah pilihan yang tepat bagi seniman tradisional, bukan mengosongkan diri untuk mengolah kesadaran dan menjadi apa saja. Berperan bagi seniman kesenian tradisional adalah bertolak dari sikap yang diolah dari unsur-unsur luar.
Kesenian tradisional adalah sebuah pesona atau dalam istilah Putu Wijaya "taksu". "Tenaga dalam" pada seorang pemain yang menciptakan karisma yang memiliki daya magnetik. Karena taksu, seorang pemain dapat menaklukan penonton secara total. Dalam tontonan yang ditampilkan oleh utusan Bali, para pemain bagaikan dewa-dewa yang bisa berbuat apa saja di atas pentas. Bahkan kesalahan-kesalahan pun menjadi benar, kalau mereka yang melakukannya. Di tangan mereka plot menjadi mati.
Kesenian tradisional adalah milik masyarakatnya. Para penonton rela menempuh jalan berkilo-kilo hanya untuk menonton wayang yang ceritanya sebenarnya telah mereka ketahui. Mereka sudah tahu bahwa Pandawa sudah pasti menang dalam cerita Mahabharata, karena memang mereka telah menontonnya berkali-kali.
Apa yang menjadi kesenian tradisional di Bali dan Jawa akan berbeda dengan kesenian tradisional yang ada di Minangkabau. Randai adalah kesenian tradisional Minangkabau yang mengutamakan cerita. Bentuk bagi mereka tidak begitu penting. Kesenian tradisi Minangkabau memiliki falsafah yaitu “serius dalam bermain-main”. Efek tontonan (spektacle) tidak menjadi unsur yang penting.
Sebenarnya dalam kesenian tradisional, tidak ada tuntutan untuk memusatkan perhatian terhadap tontonan. Penonton boleh datang terlambat dan mondar mandir meninggalkan tempat duduk tanpa membuat penonton lain menggerutu. Bahkan ada pementasan kesenian tradisional itu yang tidak memiliki tempat duduk untuk penonton. Penonton boleh saja duduk dimana dia suka. Penonton kadang-kadang menjadi bagian dari pementasan, karena mereka sering memberikan sambutan atau respons terhadap pementasan, baik itu berupa siulan ataupun cemoohan. Menikmati pementasan kesenian tradisional juga boleh sambil ngobrol dengan teman duduk, merokok, makan kacang dan lain-lain. Mereka begitu santai dan dalam kesantaian itu mereka bermain serius.
Akan tetapi yang terjadi di FNSP 2003 tidak lagi seperti tradisi yang lama, akan tetapi telah menjadi tontonan yang elite. Mereka dikumpulkan dalam satu ruangan yang ber AC, bangku ditata rapi, pencahayaan modern. Penonton tidak boleh merokok, makan kacang dan sebagainya. Hal ini memang menimbulkan jarak antara kesenian dengan penontonnya yang dulunya hal ini tidak pernah dilakukan. Seharusnya mereka ditampilkan di arena yang bebas dimana kesenian tersebut bisa menyatu dengan penontonnya. FNSP 2003 seakan dilakukan seperti layaknya kesenian untuk raja-raja yang menganut sistem aristokrasi.
Suasana santai dan kebersamaan dalam pementasan kesenian tradisional adalah ketika pementasan tersebut diadakan di pedesaan yang mayoritas penontonnya adalah masyarakat biasa. Akan berbeda halnya kalau pementasan tersebut dipementasan di dalam istana kerajaan, maka suasana santai dan kebersamaan akan hilang. Pengaruh dari sikap sopan santun, tata tertib di istana membuat suasana itu menjadi berubah. Begitu juga yang terjadi di FNSP 2003.
Artaud dalam bukunya Theatre and its double memuat sebuah tulisan tentang teater Bali. Artaud menghayati benar tarian Bali yang dilihatnya dalam suatu eksebisi di Paris. Menurut Artaud akting dan pemanggungan tidak cukup sekedar dipandang sebagai sajian simbol-simbol dari bahasa yang bersifat rahasia dan tidak kelihatan. Kesenian tradisional murni adalah teater di mana antara konsep dan realisasinya serupa. Jadi kesenian tradisional mengarah pada totalitas bermain yang tidak dimiliki oleh kesenian Eropa dan Amerika.
Kesenian tradisional atau kesenian daerah mencakup hal-hal yang bersifat emosional, fisikal, spritual, dan intelektual. Dalam menikmati tontonan, masyarakat merasa terlibat, kalau ada adegan yang menakutkan, maka penonton juga merasa takut. Begitu juga dengan adegan menyenangkan, sedih dan lain-lain yang membuat penonton juga larut dalam perasaannya. Pementasan kesenian tradisional juga memberikan santapan pada jiwa, karena di dalamnya berisi ajaran-ajaran agama, adat, filsafat hidup yang digambarkan lewat perjuangan seniman dalam melawan kejahatan. Ini membuat penonton berpikir dan menilai mana yang baik dan mana yang buruk.
Kesenian tradisional juga memiliki keunikan, seperti kesenian tradisional Bali yang hampir-hampir tidak ada adegan yang tidak ada tariannya. Semuanya diungkapkan lewat tarian yang khas, sehingga kesenian tradisional Bali sering juga disebut dengan sendratari. Di Minangkabau, kesenian tradisional seperti Randai memiliki keunikan penokohan. Seorang kakek atau nenek tidak harus menggambarkan sosok kakek atau nenek seperti dalam kenyataan sehari-hari. Dia cukup dipanggil kakek atau nenek maka jadilah ia kakek atau nenek, walau penampilannya seperti manusia berumur belasan tahun. ***
Padangpanjang, 25 Oktober 2003

No comments:

Post a Comment