KODE-4

Tuesday, June 26, 2007

Feminisme, Impian Perempuan Jadi Laki-laki

OLEH SAHRUL N, dosen di STSI Padangpanjang
Menyinggung persoalan seks, Helena Cixous memberikan gambaran bagaimana Zeus dan Hera menikmati hubungan seksual mereka. Ketika ditanya "Di antara laki-laki dan perempuan, siapa yang menikmati kesenangan yang lebih besar?". Untuk menjawab pertanyaan ini baik Zeus maupun Hera sama-sama tidak bisa memberikan jawaban.

Tuhan sangat mempercayai perempuan, sehingga dalam dirinya ada proses kehidupan, dari air mani laki ditambah sel telur perempuan menjadi segumpal darah. Gumpalan-gumpalan darah tersebut menjadi daging dan tulang hingga membentuk manusia utuh. Proses yang berjalan selama lebih kurang sembilan bulan merupakan tanggungjawab perempuan yang tak bisa dilakukan laki-laki. Seharusnya laki-laki yang cemburu pada perempuan, karena Tuhan memilih dia untuk hamil dan melahirkan. Perempuan, seperti kata Sutan Takdir Alisyahbana memiliki kedudukan yang istimewa karena fungsinya yang terpenting dalam melahirkan anak, yang merupakan kelanjutan umat manusia. Lalu pekerjaan berat apalagi yang diinginkan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya? Apakah perempuan memandang kehamilan hanyalah kodrat? Bukan sebuah pekerjaan yang dititipkan Tuhan? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terlihat, bagaimana sebetulnya feminisme tersebut dan kehidupan yang diinginkan perempuan.
Munculnya persoalan gender atau gerakan feminisme di dunia ini merupakan protes terhadap sistem yang selama ini mengungkung kaum perempuan. Seperti sistem patriakhi yang selalu menguntungkan kaum laki-laki. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa perempuan itu kedudukannya sangat tergantung kepada laki-laki yang pembawaan fisiknya lebih bebas dan pada umumnya lebih kuat dari perempuan.
Pada dasarnya dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan sepanjang sejarah dapat dibedakan dua bentuk, yaitu masyarakat dan kebudayaan yang berdasarkan garis laki-laki yang disebut dengan patriakhi atau patrilineal dan masyarakat dan kebudayaan yang berdasarkan garis perempuan yang dikenal dengan matriakhi atau matrilineal. Kedua bentuk kebudayaan ini sangat berbeda dan merupakan lawan dari satu sama lain. Umumnya gerakan feminisme atau gender berkembang dari latar budaya patriakhi. Laki-laki adalah segala-galanya. Mulai dari mencari penghidupan, menguasai warisan, kuat dan lain-lain sebagaimana gambaran dari sosok maskulin. Virginia Woolf menyebutnya sebagai dampak kemiskinan kaum perempuan. Ditambah lagi dengan ketakutan kaum perempuan dalam melakukan pertempuran untuk mengatasi pendahulu laki-laki berikut caranya untuk menang. "Perempuan juga tidak bisa membuahi laki-laki" kata Sandra M. Gilbert dan Susan Gubar.
Feminisme pada masa kini telah menjadi gerakan transformasi sosial yang populer di dunia internasional. Simone de Beauvoir, seorang aktifis feminis Perancis pernah mencatat bahwa gerakan feminis sebenarnya telah cukup tua dan telah ada sejak abad 18 dan 19 di Amerika dan Eropa. Namun benar-benar menjadi gerakan sosial yang radikal di era 70-an abad dua puluh. Di masa-masa awalnya, seluruh isu gerakan feminisme Eropa terkonsentrasi pada penciptaan kesempatan yang sama dalam kehidupan sosial bagi perempuan dan menolak streotipe budaya patriarki yang menyebabkan ketidakadilan gender. Sebagai contoh adalah pendefenisian wanita sebagai makhluk biologis atau makhluk seksual belaka, yang dalam teori psikoanalisa Sigmund Freud malah mendapat tempat serta diungkapkan dengan rumusan yang dipermodern. Berdasarkan psikoanalisa, wanita adalah makhluk seksual yang penuh dengan berbagai keanehan dan kekurangan.
Simone De Beauvoir menulis, bahwa perempuan menjadi kurang dalam segala hal, karena kondisi kebudayaan yang tidak memberinya kesempatan sebanyak kesempatan yang telah telah diberikan pada pada laki-laki, dalam hal mencapai prestasi. Secara tradisional, menurutnya, perempuan tidak pernah independen, tetapi menjadi milik suami, anak-anak, dan lingkungan sosialnya. Iklim masa lalu telah memberikan takdir yang melemahkan kehidupan sosial mereka. Perempuan, menurutnya, harus berani melepaskan keterbatasan kodrati yang telah diciptakan untuknya.
Bermula dari pandangan seperti ini, gerakan feminis di Amerika dan Eropa terus menerus menemukan bentuknya yang lebih radikal. Sehingga tuntutan utama kaum feminis bukan lagi sekedar 'kesempatan' sebagaimana yang tergambar dalam tulisan-tulisan Simone De Beauvoir, tetapi sebuah revolusi permanen atas kultur universal manusia, di mana keterpisahan gender benar-benar menjadi tidak perlu ada. Di segi perilaku, para pendukung gerakan feminis benar-benar telah memindahkan watak maskulin ke dalam dirinya, melakukan apa saja yang bisa dilakukan laki-laki. Sehingga banyak pengamat yang bereaksi, bahwa kaum feminis lebih condong memperjuangkan ide-ide maskulin ketimbang memperjuangkan ide-ide feminim.
Ada banyak tema sentral yang menjadi dasar kesadaran gerakan feminis terhadap ketidakadilan gender, dan ada banyak analisis yang menjadi dasar gerakan berbagai aliran feminis internasional. Analisis gender, analisis kelas (Marxis), dan sebagainya. Salah satu analisis yang terkenal adalah kritik feminis terhadap developmentalisme, yang dikembangkan oleh seorang aktivis lingkungan asal India, Vandana Shiva, dan tampaknya di negara-negara berkembangan seperti India, Indonesia, atau Bangladesh kritik terhadap developmentalisme ala Vanda Shiva menjadi begitu relevan, karena tengah menghadapi problem sosial budaya yang sebagian besar pemicaunya adalah pembangunan.
Pada prinsipnya, Shiva berusaha membuktikan bahwa akar dari ketimpangan gender atau ketidakadilan terhadap perempuan adalah gagasan developmentalisme yang telah menjadi agama baru di negara-negara ketiga. Pembangunan di negara-negara dunia ketiga seperti India, menurutnya, berdasarkan atas prinsip patriarki yang eksploitatif dan tidak toleran terhadap lingkungan. Ide developmentalisme telah memiskinkan kaum perempuan.
Pembangunan menghancurkan produktifitas kaum perempuan karena pembangunan merebut dari tangan kaum perempuan pengelolaan dan pengendalian lahan, air dan hutan, dan merusak ekologi sistem lahan, air, dan tumbuh-tumbuhan, sehingga menurunkan produktifitas dan daya alam untuk memulihkan diri. Meskipun penindasan gender dan patriarki merupakan bentuk-bentuk penindasan yang bertuan, tetapi keduanya muncul dalam bentuk-bentuk baru yang lebih kejam, melalui proyek pembangunan.
Keterkaitan antara ide feminis dengan ekologi menurut persepektif Shiva ini didasarkan atas kebijakan sprituil India, yang menjadikan alam sebagai prinsip feminim. Kaum perempuan India, merupakan bagian yang sangat erat dengan alam, baik dalam imajinasi maupun praktik. Alam disimbolkan sebagai pengejawantahan prinsip feminim. Itulah kenapa kehancuran alam, adalah kematian bagi prinsip feminim.
Pikiran-pikiran Vandana Shiva seperti tertuang dalam bukunya itu tidaklah sekedar abstraksi gagasan belaka, tetapi penuh dengan sejumlah data mengenai kehancuran akibat pembangunan di daerah selatan, India. Hanya saja dalam bukunya itu, ia tidak berusaha membahas persoalan pembangunan itu dari perspektif kultur patriarki tradisional yang paling berkuasa di India. Sehingga kita tidak mendapat jawaban, bagaimana misalnya, peran kasta dalam mendorong terciptanya patriarki developmentalisme yang ia sebut itu.
Di Indonesia secara fungsionalisme, sistem patriarkat itu dicirikan oleh menonjolnya peran laki-lak dalam semua gerak kehidupan masyarakat. Keadaan itu telah diwariskan sejak zaman dulu dari generasi ke generasi. Sekedar contoh, dapat kita sebutkan beberapa daerah yang menggunakan sistem patriarkat tradisional itu; Jawa, Bali, Batak, Makasar, dan suku-suku mayoritas lainnya. Di antara yang banyak itu, terdapat beberapa sistem lokal tradisional yang lebih kuat dari lokal lainnya, dan dalam sistem negara kebangsaan juga mendapat kesempatan yang lebih banyak dan mendominasi hampir sebagaian besar hajat hidup berbangsa. Maka perhubungan antar kebudayaan di Indonesia, sering tampil sebagai hubungan vertikal yang tidak memberikan posisi baik bagi lokal lainnya yang lebih minor dan lemah.
Kenyataan yang terlihat bahwa dalam sistem patriarki tradisional pengertian mengenai feminisitas disesuaikan berdasarkan kehendak patriarki yang menjadi fondasi sistem tersebut. Misalnya, standar etika yang diberikan untuk perempuan yang baik, tidak suka hilir mudik, melayani suami, dan seterusnya. Semua nilai-nilai yang lalu datang dari luar tetap saja difungsikan sesuai kehendak patriarki yang ada.
Di Indonesia saat ini, tidak ada hari tanpa kekerasan dan penindasan terhadap yang lemah. Wacana violence (kekerasan) dan penindasan terhadap yang lemah, memiliki implikasi adanya dua energi sentral yang menggerakkan kehidupan. Yaitu Kuasa - yang sering mewujud dengan bentuk kekerasan, penindasan, monopoli, - serta Yang lemah, yang merupakan sasaran dari Kuasa tadi.
Tentu saja kita tidak bermaksud memaknai antara Yang kuasa dan Yang lemah tadi dalam kerangka oposisi binner. Kekuasaan dan ketidakberdayaan dapat mengejawantah dengan sifat-sifat feminim maupun maskulin, patriarki maupun matriarki. Dalam medan kebudayaan, kedua-duanya muncul secara silih berganti. Faktor kuasa, tidak dapat dilambangkan dengan kekerasan atau penindasan saja (meskipun seringkali begitu), karena ada kuasa yang muncul secara bijaksana dalam kehidupan manusia. Begitu juga sebaliknya, Yang lemah, belum tentu berwatak lembut, sewaktu-waktu dapat saja menjadi kejam.
Dalam diskursus feminisme ekologi Vanda Shiva, hakikat feminim itu dipastikan mengacu pada kelembutan, ketidakberdayaan, kesabaran, dan watak ekologi yang aktif. Sementara patriarki atau maskulin mewujud dalam tindakan eksploitatif pembangunan, kekerasan, perampasan, atau penindasan. Tujuan dalam feminisme vandana Shiva bukanlah mencapai persamaan gender, tetapi bagaimana mengembalikan dunia yang penuh dominasi patriarki kepada dunia yang lembut, bersahaja, dan intim dengan alam.
Tentu akan sulit sekali untuk bersepakat menerima pandangan Shiva ini, seandainya gerakan feminisme hanya bertujuan untuk menemukan makna filosofis laki-laki dan perempuan belaka. Kebenaran feminisme ala Vandana Shiva adalah karena ia dapat menjadi sebuah contoh bagaimana gerakan feminisme dapat menjadi wacana kritis bagi dinamika hidup universal yang tengah dijalani manusia. Ibaratnya, gagasan-gagasan feminis Shiva itu adalah kecemasan seorang yang menegur anaknya akibat terlalu ngebut membawa kendaraan.
Begitulah mengikuti pandangan Shiva, kita melihat bahwa proses patriarki Indonesia merupakan contoh kongkrit patriarki primordial yang negatif. Dalam pembangunan, patriarki yang seperti itu telah mengeksploitasi kaum wanita secara kejam. Sebagaimana dicontohkan Mansour Fakih mengenai akbiat penerapan program surplus pangan di pulau Jawa. Percepatan musim tanam yang diiringi dengan pengutamaan penggunaan alat-alat tekhnologi modern, telah menyebabkan sistem menuai dan memanyi yang banyak menggunakan tenaga perempuan tidak dipakai lagi. Patriarki di bidang politik, telah secara sewenang-wenang menggeser hak kaum kaum perempuan di bidang politik. Contoh yang paling populer mungkin alasan gender yang digunakan politisi untuk menjegal naiknya Megawati sebagai presiden RI. Patriarki yang paling brengsek selalu terjadi di sekitar hidup kita, mulai dari pemerkosaan, dunia iklan, hingga tawuran pelajar.
Sementara Tommy F. Awuy melihat persoalan perempuan di Indonesia tidaklah merupakan gerakan feminis, namun adalah gerakan emansipasi, karena kata emansipasi hanya bisa hidup jika berhadapan dengan kekuasaan objektif yang bersifat totalitarian dan otoriteraian. Baru sejak rezim Soeharto tumbang, dimana tumbang pula kekuasaan otoriter, baru kata feminisme itu muncul. Malahan menurut Tommy F Awuy feminisme yang berkembang saat ini adalah feminisme multidimensional. ***

1 comment:

  1. saat saya membaca judul anda, langsung terbersit kalau menjadi laki2 adalah sebuah impian. Dengan kata lain menjadi laki2 adalah sebuah keberuntungan yang mendekati kesempurnaan. mungkin anda memilih judul demikian karena anda adalah laki2. lalu bagaimana dengan saya yang perempuan? feminisme bukan pandangan seperti yang anda paparkan pada judul anda itu, tetapi sebuah pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yg terutama dialami perempuan yang disebabkan oleh sistem patriarki. jadi, saya sebagai feminis, tidak akan pernah bermimpi menjadi seorang laki2. saya sudah cukup puas dengan kelamin yang menjadi kodrat ini. terimakasih sebelumnya. jangan merasa sakit hati ya pak! saya hanya menanggapi tulisan anda (terutama judul) yang sangat mengganggu fikiran saya. Wassalamu'alaikum. Mahasiswa Fak. Sastra USU.

    ReplyDelete