KODE-4

Monday, May 21, 2007

GUS TF SAKAI

Sastra yang Melintas
TAK seperti biasanya, Gus tf Sakai, sastrawan yang kini bermukim di Kota Payakumbuh, sebuah kota kecil sekitar 30 kilometer utara Bukittinggi, Sumatera Barat, tertegun begitu lama.

Menerima kabar saya memperoleh SEA Write Award, saya tertegun, tak percaya, bukan karena kemudaan usia, tetapi juga karena sebenarnya saya tak terlalu yakin pada pilihan akan apa yang telah saya tulis," katanya, tentang penghargaan sastra bergengsi di Asia Tenggara dari Kerajaan Thailand itu.< p>
Gus meraihnya berkat kumpulan cerpennya; Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999). Dengan demikian, Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta sudah tiga kali meraih penghargaan bergengsi. Sebelumnya, Penghargaan Sastra Lontar dari Yayasan Lontar (2001) dan Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (2002).
Apa yang menarik dari buku kumpulan cerpen tersebut? Coba kita simak nukilannya; Jadi… perempuan buta itu memang ada. Seperti si tua pencari rotan, pemburu separo baya itu pun dikerumuni orang. "Bukan kecantikannya. Tapi itulah wajah di mana segenap ketulusan, segenap kegembiraan, memancar bersamaan. Ia seperti bayi… tapi tentu saja memiliki apa pun hal yang pantas bagi kemudaan perempuan. Ia tanyakan tentang cahaya. Semacam sinar, kata kalian! Tapi apakah itu sinar? Aku …" Pemburu separo baya itu menangkupkan tangan ke wajah. Pundaknya tiba-tiba bergetar turun naik. Ia menangis.
ADA yang unik dan menarik dari Gus tf Sakai. Bukan karena t pada namanya (harus) huruf kecil. Bukan pula karena kepalanya plontos. Akan tetapi, bagaimana ia "membelah" diri menjadi dua nama, Gus tf dan Gus tf Sakai. Orangnya satu, tapi dengan dua nama yang, dalam dunia sastra Indonesia, sama terkenalnya. Padahal, nama aslinya Gustrafizal.
"Saya menulis nama Gus tf untuk karya sastra jenis puisi dan dan Gus tf Sakai untuk karya sastra jenis prosa. Kedua nama itu terus memberi sugesti sehingga saya tak punya cukup waktu untuk menekuni hal-hal selain sastra. Waktu selama 24 jam seperti tak cukup untuk mempertahankan eksistensi kedua nama tersebut," katanya.
Hidupnya dicurahkan untuk "menghidupi" sastra Indonesia. Sebaliknya, ia pun hidup dari sastra. Bedanya dengan sastrawan lain, bagi Gus menulis bukanlah pekerjaan. Yang menjadi pekerjaannya adalah membaca.
Gus mengatakan, setiap hari 60 persen waktunya untuk membaca. Istilah ini mestilah dianggap berada di antara tanda kutip: "membaca". Yang ia maksud dengan membaca tidak saja membaca buku-buku beragam kategori, tetapi juga membaca fenomena masyarakat. Ketika dirinya tersugesti untuk menulis pascamembaca, ia baru menulis.
"Menulis tidak ada target-targetan dan bukan pula sebagai mesin uang. Kalau menulis jadi pekerjaan, kenapa sejak 25 tahun lalu baru hanya bisa melahirkan 11 buku? Cuma di balik karya itu ada satu keyakinan; apa pun profesi, tak mungkin tak ada penghargaan," ujar Gus, yang kini memiliki kekayaan berupa buku sekitar 3.000 judul, yang memenuhi dua kamar. "Harta kami yang utama adalah buku. Dan, ada kebanggaan kami bila bisa beli buku, apalagi bisa menghasilkan buku."
Di antara sebelas buku yang sudah dihasilkan Gus ada dua kumpulan puisi, yaitu Sangkar Daging (1997) dan Daging Akar (dalam proses). Ia juga menghasilkan tiga kumpulan cerpen, yaitu Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), serta Laba-laba (2003). Selebihnya, sebanyak enam buku, adalah novel: Segi Empat Patah Sisi (novel remaja, 1990), Segitiga Lepas Kaki (novel remaja, 1991), Ben (novel remaja, 1992), Tambo Sebuah Pertemuan (2000), Tiga Cinta, Ibu (2002), dan Ular Keempat (dalam proses).
Buku Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Lontar. Sementara Tambo Sebuah Pertemuan kini tengah diterjemahkan oleh Michael Bodden ke dalam bahasa Inggris, dan dinegosiasikan oleh penerjemah ke penerbit Metafor.
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta dinilai penulisnya sebagai ajaib sebab itu merupakan karya-karya pertama, ditulis tahun 1990-an awal. Selama 14 tahun kemudian barulah buku itu dapat diapresiasi. Ada yang lebih berharga, tetapi kurang diminati. Barangkali, karya semacam ini mungkin beberapa tahun ke depan baru bisa diapresiasi oleh para pembaca atau kritikus sastra.
Meski Gus banyak menulis dengan latar belakang budaya Minang, tidak semata-mata persoalan masyarakat Minang. Minang dalam cerita Gus diposisikan sebagai pandangan orang luar. Makanya, jangan heran, persoalan keindonesiaan dengan apik ia sajikan
APA pandangan Gus soal sastra? Menurut Gus, yang tanggal 15 Agustus mendatang genap 39 tahun, sastra mestinya harus memisahkan diri dari isme-isme dan pengaruh yang lain. Sastra akan termiskinkan apabila diulas dengan acuan pemikiran-pemikiran lain, seperti filsafat.
"Karya sastra punya pesona dari karya itu sendiri. Ia bisa dibuat sebagai dunia sendiri. Shakespeare nyaris tak bisa dikaitkan dengan karya-karya lain, kecuali dengan sastra," tandas suami Zurniati dan ayah dari Abyad Barokah Bodi, Khanza Jamalina Bodi, dan Kuntum Faiha Bodi.
Arti penting sastra, menurut Gus yang sarjana peternakan (1994) Universitas Andalas Padang, adalah "melintas". Ia bisa mempertemukan manusia yang berlainan suku, agama, ras, dan lain perbedaan karena kemampuan sastra atau filsafat karena kemampuannya dalam melintas. Begitu pula ia mempertemukan beragam bidang, seperti sains, psikologi, atau filsafat, karena kemampuannya dalam melintas. Hanya dengan kemampuan melintaslah, sastra bisa menciptakan sebuah dunia di mana kita, setiap kali membacanya, semakin dalam dan semakin dalam terengkuh, lalu mempertanyakan kembali keberadaan kita, manusia.
Dengan pandangan demikian dan keseriusan dalam berkarya, hampir semua karya-karya Gus memenangi berbagai perlombaan. Ia telah mengoleksi lebih kurang 40 kali gelar juara mengarang cerpen, menulis puisi, mengarang novel dan meraih lima penghargaan, yang terbaru adalah Penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand.*
SUMBER, YURNALDI, KOMPAS, SELASA, 27 JULI 2004

No comments:

Post a Comment