KODE-4

Wednesday, May 9, 2007

ALI AKBAR NAVIS


Masih “Berjalan di Sepanjang Jalan”
Malam itu, Ali Akbar Navis atau lebih dikenal AA Navis, asyik bercerita dengan Yusrizal KW, salah seorang penulis cerita pendek garda depan Sumatra Barat. Navis memuji imajinasi cerpen Yusrizal KW “Tiga Biji Korma Per Kepala”, yang dimuat Kompas, Minggu, 12 Desember 1999.

“Soal perantau tidak ada yang luar biasa. Yang luar biasa itu imajinasi tentang tiga biji kurma per kepala,” ujar Navis, menilai. Meski dikenal sebagai “pencemooh kelas wahid”, kali ini Navis tidak sedang mencemooh. Serius.
Setelah itu, mereka larut bercerita soal pengolah ide-ide cerita pendek, tentang perilaku orang Minang, ten-tang Jodoh—buku kumpulan cerpen AA Navis yang di-luncurkan belum lama ini. Sampai ke buku kumpulan makalah/artikel yang akan segera diluncurkan dalam waktu dekat. Bahkan juga rencana Navis setelah itu, seperti akan menawarkan naskah buku Kabut Negeri si Dali yang berisi 15 cerita pendek.
Navis bercerita dengan penuh semangat. Kadang ia memanas-manasi, agar penulis muda seperti Yusrizal KW, mampu mengalahkan dirinya.
“Sejak usia ambo mencapai 40 tahun, ambo berjanji hanya akan bergaul dengan anak-anak muda. Mereka memegang hari depan, dengan mereka kita akan se-nantiasa kembali menjadi muda. Akan tetapi, kalau ber-gaul dengan orang tua, yang ada hanya selalu mema-mah-biak kisah-kisah kejayaan masa lalu. Kisah yang mungkin hanya dia sendiri bisa menikmati,” katanya.
Satu hal yang kini paling membahagiakannya adalah beberapa penyakit yang dideritanya seperti wasir, asma, ataupun batuk, tidak pernah kambuh-kambuh lagi. Bahkan ia pun telah memutuskan berhenti mero-kok, padahal dulu dia menghabiskan dua sampai tiga bungkus rokok kretek sehari. “Ternyata, selama ini ambo keliru. Imajinasi tidak ada kaitannya dengan me-rokok,” katanya.
Tanggal 17 November 1999, AA Navis yang kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, ini berusia 75 tahun. Jangan kira di usia segaek itu, sastrawan dan buda-yawan kondang hasil didikan Mohammad Sjafei di INS Kayutaman (1932-1942) ini tidak lagi produktif. Ia masih tetap menulis, menulis, dan terus menulis.
“Menulis adalah panggilan hati. Menulis adalah tan-tangan dan untuk melatih otot-otot otak. Senjata ambo hanya menulis. Dengan menulis ambo bisa membela orang atau pihak yang tertindas. Ambo menulis dengan satu visi, tetapi bukan mencari ketenaran. Ada pikiran yang ingin ambo tuangkan melalui karya sastra,” kata Navis.
Bagi Navis, menulis itu alat. Namun bukan alat po-kok untuk mencetuskan ideologinya. Ia mengaku tak termasuk orang yang menulis cerpen mirip mesin.
“Bila sedang mood menulis cerpen, ya tulis cerpen. Bila mood menulis novel, ya tulis novel. Kadang dalam setahun, ambo hanya mampu menulis dua-tiga cerpen,” jelas penerima Hadiah Seni dari Departemen P dan K, tahun 1988 itu.
Bagi orang luar Sumatra Barat, AA Navis niscaya hanya dikenal sebagai seorang pengarang, dengan karya spektakuler Robohnya Surau Kami. Padahal lebih dari itu, ia bahkan pernah menjadi guru dan dosen, bergelut di bidang seni musik, seni lukis, dan seni pa-tung. Kini menjadi penasihat ahli harian Singgalang dan Ketua Badan Wakaf INS Kayutanam, sebuah lem-baga pengelola pendidikan yang juga menempa bakat mau pun kemampuan Navis sejak kecil.
Sejak 50 tahun terakhir, Navis telah menulis 23 buku, di luar lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri. Selain Robohnya Surau Kami (1986), buku lain yang mendapat perhatian luas adalah Alam Terkembang Jadi Guru (1984). Bahkan buku cerita anak Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998), mendapat penghargaan Adi Karya dari Ikatan Penerbit Indonesia dan penghargaan dari lembaga ban-tuan pendidikan anak di bawah Organisasi Pendi-dikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perseri-katan Bangsa-bangsa (UNESCO), belum lama ini.
Sedang cerpen yang telah ditulis sebanyak 75 buah. Semua arsipnya tersimpan rapi, kecuali dua arsip cer-pen sudah tidak ditemukan lagi, yakni “Baju di San-daran Kursi” dan “Segumpal Malam di Pulau Musang”, keduanya pernah dimuat di majalah Roman, tahun 1957.
Orang tentu akan salah jika menyangka Navis hanya tertarik pada dunia sastra. “Ambo juga menulis artikel, lalu berbicara dan berdebat mengenai soal-soal ini di dalam berbagai forum atau seminar, termasuk di ka-langan mahasiswa dan ulama. Dan tidak hanya ter-batas pada masalah-masalah yang bersifat sastra dan Islam, tetapi lebih luas seperti juga di lapangan pemi-kiran sosial-ekonomi, pendidikan, kebudayaan, politik, dan lain-lain.”
Sedikitnya, Navis telah menulis 106 makalah dan artikel. Sebagian besar makalah antara lain bahan yang disampaikan di beberapa perguruan tinggi di Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, juga perguruan tinggi dalam negeri seperti di Universitas Indonesia (UI) Jakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yog-yakarta.
“Sebanyak 50 makalah dan artikel di antaranya da-lam bidang sosial budaya Minangkabau, kesusastraan, budaya dan agama, pendidikan dan generasi muda, tokoh di sekitar kita, budaya dan politik, diterbitkan dalam sebuah buku setebal lebih kurang 450 hala-man,” ungkapnya.
Buku yang berjudul Yang Berjalan di Sepanjang Jalan, setidak-tidaknya ini memberikan makna, “Bahwa di usia 75 tahun, ambo tetap tidak punya kantor, sehingga masih berjalan di sepanjang jalan.”
Navis seperti ingin mengikuti kata-kata gurunya, Mohammad Sjafei, yaitu ingin menjadi orang bebas. Itu-lah sebabnya, ia tidak betah bekerja di kantoran. Ia cuma tiga tahun bekerja di Jawatan Kebudayaan Depar-temen PP dan K di Bukittinggi, 1952-1955.
Navis mengaku, dia seperti tentara, meski tidak ber-perang terus latihan agar kalau menembak tidak me-leset. Jadi setiap hari pasti dicarikan waktu untuk me-nulis.
Menikahi Aksari Yasin tahun 1957, hasil perka-winannya membuahkan Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogeni, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini. Dari ketujuh anaknya ini, Navis mendapatkan 13 orang cucu.
Sebagai seorang sastrawan, sejumlah penghargaan pernah diterimanya, antara lain pemenang pertama dan menerima hadiah Kincir Emas dari Radio Belanda (1975), dan anugerah sastra South East Asia Writer Award dari Thailand (1992). Cerpennya juga telah diter-jemahkan ke beberapa bahasa asing: Inggris, Jerman, dan bahasa Perancis.
Namun, janganlah disangka Navis selalu mulus da-lam mengarang. Navis yang pagarah (suka melucu, te-tapi bukan melawak) pernah mengalami nasib sial de-ngan cerpen “Man Rabbuka”. Ketika cerpen ini dimuat di harian Nyata, Bukittinggi, tahun 1957, pembaca pro-tes sehingga redaksi koran itu kemudian mencabut cerpen itu dan dianggap tidak ada. Cerpen itu kemu-dian dikirim ke Siasat di Jakarta. Lagi-lagi diprotes pembaca.
Dalam usia tiga perempat abad ini, Navis sangat ber-syukur. “Ada tiga macam doa ambo, pertama; agar rumah tangga anak-anak rukun damai. Kedua; agar murid-murid “jadi orang”, dan ketiga; agar diagiah (diberi) kesempatan menyelesaikan karya-karya yang terbengkalai,” jelasnya. “Sekarang ambo masih fit...” ujar Navis. AA Navis meninggal dunia di Padang tanggal 22 Maret 2003*
SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Jumat, 7 Januari 2000

No comments:

Post a Comment