KODE-4

Tuesday, May 15, 2007

ADY ROSA

Jenderal Tato
Tato atau lukisan pada tubuh, belakangan ini makin menjadi mode. Bila semula tato merupakan bagian budaya ritual etnik tradisio-nal, kini berkembang menjadi bagian kebudayaan pop. Pada saat tato tradisional terancam punah, tato yang menjadi bagian kebudayaan pop semakin tertera di tubuh-tubuh manusia modern, semakin digandrungi.

Karenanya, jangan heran melihat artis-artis beken atau kalangan selebritis seperti Ayu Azhari, Yuni Arso, Rebecca Tumewu, Jajang C Noer, Karenina, Dian Nitami, Anjasmara, Cut Keke, Inneke Koesherawaty, dan Ari Sihasale—untuk menyebut sejumlah nama—bertato. Mereka menjadikan tato sebagai identitas yang melekat pada dirinya.
Hanya saja, tato-tato itu tidaklah sedahsyat tato tradi-sional yang sarat makna dan simbol, seperti dimiliki sejumlah suku di Tanah Air, yaitu suku Mentawai di Kepulauan Mentawai, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Nusa Tenggara Barat. Atau juga bangsa Polynesia yang tersebar di Kepulauan Hawaii, Easter, Marquesas, dan suku bangsa Maori (Selandia Baru).
“Tato dalam kebudayaan pop hanya sebatas kese-nangan, sebatas hiasan, dan simbol kaum muda untuk jati diri gengnya. Sedang tato tradisional, selain unik dan dashyat juga syarat simbol dan makna. Cuma sayangnya, tato tradisional ini terancam punah,” kata Drs Ady Rosa MSn, ahli tato satu-satunya di Indonesia.
Ia menegaskan, tato sebagai rumpun seni rupa tradi-sional di Tanah Air sudah terancam punah, dalam kajian-kajian seni rupa pun agak terabaikan. Boleh dikatakan tidak satu pun buku kajian sejarah seni rupa Indonesia sampai saat ini yang memasukkan kajian tato ke dalamnya.
Padahal, menurut staf pengajar seni rupa Universitas Negeri Padang ini, membicarakan tentang lukisan tubuh yang disebut tato tradisional, sebenarnya akan sama halnya dengan membicarakan lukisan gua pra-sejarah, karena sama-sama hidup di zamannya yang juga memiliki simbol dalam tatanannya, guna memberi jati diri pada suku serta perangkat strata sosial bagi masyarakatnya.
Tertarik dengan tato tradisional yang terancam punah di Indonesia, Ady Rosa yang kelahiran Jakarta, 23 Juli, 48 tahun lalu, sekitar satu tahun (1992-1993) keluar-masuk hutan di pedalaman Kepulauan Menta-wai, terutama Pulau Siberut-berjarak sekitar 120 mil barat dari Padang, Sumatra Barat—untuk mengkaji keberadaan tato pada suku tersebut.
Mengapa tato suku Mentawai? Menurut Ady, karena keberadaan tato tradisional Mentawai adalah yang ter-tua di dunia, sudah ada sejak zaman awal prasejarah (neolitikum), sejak 1.500 tahun sampai 500 tahun Se-belum Masehi, pada masa penyebaran bangsa Proto Melayu ke Nusantara yang berasal dari Yunan.
Dari penelitiannya ke Desa Terekan Hilir, Bojakan, Simalegi, Simatalu, Pulikkoman, Matotonan, Lita, Sagalube, Paipajet, dan Taileleu di Pulau Siberut, Ady yang pernah menjadi instruktur desain kerajinan pada pelatihan kerajinan di Sumatra Barat dan bidang perencanaan “Festival Istiqlal” di Jakarta, 1991 itu menemukan 160 motif tato tradisional Mentawai.
“Dari 24.566 jiwa (5.254 KK) suku asli Mentawai, yang bertato tak lebih dari 200 orang, mereka berusia 50 tahun ke atas. Dari 80 responden bertato, ditemu-kan 160 motif tato tradisional Mentawai, sebagai simbol struktur kemasyarakatan, kepercayaan, ekonomi, dan kesehatan,” ungkap Ady.
Ia melukiskan, tato Mentawai dibuat dengan alat dan bahan tradisional seperti jarum, tangkai kayu, pe-mukul, dan lidi. Pewarnanya berasal dari arang tem-purung yang dicampur air tebu. Pembuatan tato dida-hului dengan suatu prosesi punen enegat (upacara ini-siasi) bertempat di puturukat uma (galeri rumah tradisional). Acara dipimpin oleh Sikerei (dukun).
Pembuatan tato dilakukan bertahap. Tahapan perta-ma dimulai anak menjelang dewasa (11-12 tahun), pada bagian pangkal lengan. Tahap kedua, pada usia 18-19 tahun, pada bagian dada, paha, kaki, perut, dan punggung.
Menurut Ady, fungsi dan makna tato dengan bera-gam motifnya, memiliki pranata sosial-budaya yang me-liputi ekonomi, kesehatan, kepercayaan, teknologi, ke-ahlian/kepiawaian, dan dekorasi atau hiasan tubuh.
Fungsi tato sebagai jati diri suku, mempunyai kedu-dukan sebagai tato utama, dengan penempatan pada tubuh harus sesuai dengan aturan bakunya. Tato utama ini pun sekaligus menandai batas wilayah kesu-kuan.
“Tato Mentawai berfungsi sebagai alat komunikasi bagi kelompok suku, lewat gambar-gambar yang ter-dapat pada tubuh mereka. Alat komunikasi ini adalah bahasa rupa yang terwujud melalui unsur-unsur gam-bar tato, hadir lewat simbol, tanda kenal, dan hiasan,” papar Ady Rosa.
Tato sebagai simbol bagi jati diri suku menjelaskan dari mana seseorang berasal, seperti tergambar lewat motif “durukat” tato bagian depan dada pria, dan “dapdap” tato bagian dada wanita. Namun, pada masing-masing wilayah kekuasaan suku, terdapat perbedaan dalam bentuk simbolnya.
Sedang tato sebagai tanda kenal pribadi, menyirat-kan kemahiran atau kepiawaian seseorang. Seperti se-orang pemburu sejati akan mudah dikenal lewat motif-motif “joja”, “sunancura”, “sakkole”, “seguk”, dan “sakoyuan”. Begitu pula dengan sikerei (dukun) akan terlihat pada motif “sibalubalu” dan “tudak” (kalung kebesaran Sikerei). Jadi, bentuk-bentuk tato dan pe-nempatannya sudah baku.
Namun demikian, masih ada ruang gerak bagi kebe-basan kreatif pribadi, sehingga tato Mentawai ada yang memiliki fungsi hiasan. Motif yang digunakan umum-nya adalah “pulaingiania”.
Ketika eksistensi tato Mentawai itu diangkat men-jadi tesis program pascasarjana di ITB Bandung, tahun 1994, Ady Rosa oleh Prof Dr Primadi Tabrani dan Prof AD Pirous dijuluki “Jenderal Tato”. Julukan itu me-lekat hingga sekarang.
Setelah itu, Ady sebagai peneliti terus melakukan penelitian lanjutan. Ada tiga penelitian lanjutan yang ia lakukan, yakni “Studi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Suku Terasing Mentawai di Desa Sotboyak Kecamatan Siberut Utara” (dibiayai Depsos, 1995), “Fungsi dan Makna Tato Serta Implikasinya pada Peri-laku Kehidupan Sosial Budaya dalam Pembangunan” (Hibah Bersaing PT, 1997-1999), dan “Kajian Semiotik dan Mitologis tentang Tato Masyarakat Tradisional Kepulauan Mentawai” (Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa Depdikbud, 1999).
Sebagai “Jenderal Tato”, suami dari Farida Idrus (guru SMK 4 Padang) dan bapak dari Dipa Aditya Rosa dan Dibya Prayasitta Somya Rosa ini, mengaku tak puas hanya meneliti tato Mentawai. Ia juga berkeinginan meneliti keberadaan tato tradisional suku Dayak di Kalimantan.
Gayung bersambut, keinginan itu terkabul ketika proposal riset unggulan tentang hal itu diterima LIPI. “Belum lama ini saya menandatangani kontrak pene-litian selama tiga tahun, dengan biaya sekitar Rp 220 juta,” ujar Ady Rosa, yang juga dikenal sebagai penulis dan pelukis.
Menurut Ady, usai penelitian itu nantinya, kalau memungkinkan, ia akan meneliti tato masyarakat asli Sumba, NTB. Dengan demikian menjadi lengkap kajian tato di Indonesia, yang kini keberadaannya terancam punah.
Meski dikenal sebagai ahli tato, Ady sendiri ternyata tidak bertato. Orang mengira ia banyak tatonya. “Saya tak bertato. Karena proses membuat tato tersebut sangat sakit,” alasan kandidat Doktor dari Universiti Kebang-saan Malaysia ini.*
SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Sabtu, 24 Februari 2001

No comments:

Post a Comment