KODE-4

Wednesday, May 9, 2007

ABDUL KADIR USMAN

“Gila” Kamus Minangkabau
Sudah lihat kamus yang disusun oleh ’orang gila’? Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia yang disusun Haji Abdul Kadir Usman Datuk Yang Dipatuan? Kerja yang luar biasa, sebuah prestasi yang membanggakan kita!” kata sastrawan dan budayawan AA Navis, menjelang akhir hayatnya.
Baru kali ini ada kamus bahasa Minangkabau yang entrinya luar biasa banyak. Kalau tidak karena “kegilaannya”, tak akan pernah terwujud kamus setebal 571 + x halaman tersebut.

Sebelumnya ada buku Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melajoe Riau susunan M Thaib Sutan Pamoentjak terbitan Balai Poestaka Batavia tahun 1935. Ada juga buku Minangkabausch-Maleisch Nederlandsch Woorden Boek yang disusun Van Der Toorn dan diterbitkan Gravenhage Martius Nijhoff tahun 1891. Jadi, untuk Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia, Abdul Kadir Usman-lah yang pertama menyusunnya.
Abdul Kadir Usman atau AKU, dalam usianya yang hampir 70 tahun —lahir di Barung-Barung Belantai, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 13 September 1933—menyusun kamus itu sendirian. Bahkan, desain sampul dan tata letak buku dikerjakannya sendiri. Ia melakukannya di sela kesibukannya menjadi pengacara terkemuka di Sumatra Barat dan Ketua Pusat KUD Sumatra Barat, ketika itu.
“Bagi saya, ini dakwah, amal ibadah. Tidak untuk mencari rupiah. Menyusun Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia itu hanya menyalurkan hobi, dan mudah-mudahan ada gunanya bagi banyak orang,” katanya.
Idenya muncul tahun 1990-an, bermula ketika anaknya menanyakan arti kata bahasa Minang. Ungkapnya, “Saya sadar, kamus bahasa Minangkabau itu memang perlu.”
Agar hak ciptanya diakui, Usman menulis di surat kabar Haluan untuk rubrik “Kamus Umum Bahasa Minangkabau” tiap edisi hari Minggu. Kata-kata yang sudah lama hilang dari pasaran dimunculkan kembali.
Kita kutipkan satu contoh entri. Kusuik,-kusut; kusuik bulu ayam; kusut bulu ayam (bisa diselesaikan dengan patuhnya sendiri). Kusuik banang; kusut benang; menyelesaikannya hanya dengan mencari, menemukan, dan menempatkan di mana letak ujung pangkalnya (mengembalikan masalah pada propor-sinya). Kusuik sarang tampuo; kusut sarang tempua; penyelesaiannya hanya memusnahkan dengan api atau dibuang saja.
“Saya menyusun entri bahasa Minangkabau itu melalui komunikasi dengan banyak orang. Buku Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melajoe Riau yang dipinjamkan literaturnya oleh teman saya, AA Navis, saya jadikan bahan dasar utama bagi kemudahan menyusun entri kata dalam kamus, dan di sana-sini ditambahkan dengan temuan-temuan saya serta sumbangan pikiran teman-teman yang berminat, selain bacaan-bacaan kaba-kaba klasik, seperti Magek Manandin, Siti Risani, dan sebagainya,” paparnya.
Di akhir penyusunan kamus, ia mendapatkan bantuan yang tak ternilai dari Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) H Kamardi Rais Datuk P Simulie berupa fotokopi buku setebal 390 halaman berjudul Minangkabausch-Maleisch Nederlandsch Woorden Boek terbitan tahun 1891.
“Buku tersebut saya jadikan pembanding kosakata yang terpakai sekitar tahun 1890 dengan yang terpakai 100 tahun kemudian, tahun 1990. Hebatnya, kosakata Minang ditulis dengan huruf Melayu (Arab gundul), alfabet kosakatanya disusun berdasarkan alif-ba-ta, se-dangkan penjelasan artinya dalam bahasa Belanda. Kamus ini disusun untuk kepentingan orang Belanda, yang waktu itu menjajah Indonesia,” tambahnya.
Usman berpendapat, bahasa Minang agak beda dengan bahasa daerah etnik lain. Bahasa Minang punya jiwa, ada nuansanya. Bahasa Minang pada da-sarnya tidak mengenal abjad F dan H.
Kedua huruf tersebut tergabung dalam huruf P dan A. Juga tidak mengenal penggunaan huruf Q dan Z, yang sehari-harinya memakai huruf K dan J, dan tidak pernah mengenal huruf X. Akan tetapi, karena pe-ngaruh agama Islam dan hubungan antarsuku bukan saja di Indonesia, masyarakat Minangkabau jadi kenal dengan huruf-huruf Q dan Z.
Kamus yang disusun M Thaib Sutan Pamuntjak, 65 tahun lalu, memuat sekitar 8.000 entri kata Minang dengan penjelasan ringkas. Titik beratnya dialek Bukittinggi dan Payakumbuh, yang memakai pola o. Sedangkan yang disusun Van der Toorn, 113 tahun lalu, memuat sekitar 7.300 entri, umumnya berasal dari dialek Payakumbuh, umumnya pakai pola e.
Sementara kamus susunan AKU ini dibuat untuk orang Minang dan mereka yang belajar bahasa Minang. Kosakatanya amat terbuka dan menggunakan huruf a, bukan e.
“Kamus yang saya susun memuat 12.500 entri kata. Saya tidak hanya sekadar mengoleksi kata-kata mati, tetapi juga menggali kata-kata yang sudah hilang dari pasaran, bahkan banyak mengadopsi ajaran Islam dalam bahasa/budaya Minangkabau. Misalnya, barampiang rumah sanak kanduang, barampiang sawah sanak ibu. Maksudnya, sebagaimana ajaran Islam, hormati atau muliakan tetangga,” ujarnya sembari me-nambahkan bahwa kini ia tengah menyiapkan pener-bitan edisi revisi karena ada penambahan kata-kata daerah.
Kamardi Rais Datuk P Simulie, Ketua Umum LKAAM Sumatra Barat, menilai, apa yang telah dikerjakan se-cara cermat dan tekun oleh Abdul Kadir Usman meru-pakan kamus bahasa Minangkabau terlengkap dewasa ini, bahkan hampir mencapai semacam ensiklopedi. “Nyaris setiap entri kata bukan sekadar mencari pada-nannya saja di dalam bahasa Indonesia, melainkan setiap pengertiannya dipaparkan secara rinci, jelas, dan luas,” katanya.
Abdul Kadir Usman adalah sarjana hukum dari Universitas Andalas, Padang, tahun 1970. Namun, sejak tahun 1963, sebelum kuliah, ia sudah menjadi pengacara. Tahun 1974 namanya mencuat sebagai pe-ngacara papan atas di Sumatra Barat setelah mempe-roleh izin praktik sebagai pengacara. Kasus yang dita-nganinya banyak yang menang, bahkan klien tidak di-pungut bayaran.
“Lebih dari 10 persen perkara tidak dipungut bayaran. Perai (gratis). Kita tidak miskin harta, tapi miskin keadilan. Dalam beperkara, saya mencarikan jalan keluar dan menyadarkan pemerintah,” papar Usman yang pernah menjadi Direktur Lembaga Ban-tuan Hukum (LBH) Padang tahun 1984-1994.
Usman punya pengalaman jurnalistik sejak tahun 1954, ketika ia menjadi wartawan di harian Penera-ngan, Fakta Minggu, dan Haluan. Tahun 1980-an aktif menulis di berbagai media terbitan Jakarta, seperti Kompas dan Sinar Harapan. Sejak tahun 1985 ia rutin menulis kolom “Gumam” di harian Haluan. Tulisan ko-lom tersebut sudah dibukukan dengan judul Alam Takambang Jadi Gumam, yang tahun 2002 sudah mencapai jilid ke-17.
Pengalaman lainnya cukup banyak, mulai dari men-jadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) semasa kuliah, ikut sejumlah partai, Panitia Pemilihan Umum 1955, mendirikan Organda (1961), ikut Sekber Golkar (1964), Parmusi (1969), dan bergabung dengan PPP (1973-1983). Tahun 1982-1987 menjadi salah seorang pimpinan DPRD Sumatra Barat, dan juga Direktur LBH Padang (1984-1994), sampai terpilih menjadi Ketua Pusat KUD Sumatra Barat.
Sekarang, suami dari Hj Saruni binti Yasun dan bapak lima anak, serta kakek 11 cucu ini menjabat Ketua Lembaga Konsumen Sumatra Barat, dan sebagai Ketua Garin Masjid Taqwa Muhammadiyah sejak tahun 2001. Abdul Kadir Usman meninggal 12 Oktober 2003 di Padang.*
SUMBER (Yurnaldi), Kompas, Jumat, 28 Maret 2003

No comments:

Post a Comment