KODE-4

Wednesday, April 18, 2007

Sardono, Umur, dan Kepenarian

OLEH Halim HD
“Saya sudah tua, tidak akan lagi menari”, itulah sepotong kalimat yang diucapkan oleh salah satu maestro dunia tari kita, Sardono W. Kusumo, pada sesi diskusi pada acara Indonesia Dance Festival (IDF) 2006, Jakarta, setelah salah satu pertunjukan di teater kecil Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya tidak mendengarnya secara langsung. Kata-kata dari sosok yang kita segani itu saya dengar dari cerita seorang rekan yang selama beberapa hari mengikuti hajatan dunia tari yang setiap tahun senantiasa mengundang perhatian publik peminat seni pertunjukan. 

Ketika teman itu membawa ole-ole berita tentang Mas Don, panggilan akrab Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kami yang berada di daerah dan sedang nongkrong di warung pinggir jalan masuk kedalam diskusi santai. Pertanyaan yang saya lontarkan kepada beberapa teman yang nongkrong di warung depan gedung kesenian Sulsel, Societeit de Harmonie, Makassar, pada usia berapakah seorang seniman tari (juga musik dan teater) pensiun dari dunia panggung? Kenapa pula seorang Sardono W. Kusumo yang kalau tidak salah baru berusia 62 tahun menyatakan tidak akan menari lagi? Apakah profesi kepenarian seseorang bisa diukur dari usia seorang pegawai misalnya yang pensiun pada umur 56 tahun? Ataukah ketika dia sudah mengalami kecukupan sosial-ekonomi, atau sedang berada pada posisi jabatan yang memang membutuhkan enerji dan waktu yang banyak menyita dirinya untuk melakukan kegiatan yang dahulu tak pernah lengang dari satu ruang eksplorasi ke ruang eksplorasi lainnya, suatu penjelajahan dalam upaya pencarian jatidiri pribadi dan penciptaan tradisi baru?
Belum lama ini, pada bulan Februari 2007, Putu Wijaya, pendiri dan pimpinan Teater Mandiri, Jakarta, dan salah satu sutradara, penulis dan aktor handal yang kita miliki manggung di kampus Universitas Muhammadiyah Makassar. Sejak beberapa minggu sebelum acara itu, saya menantikan sajian yang akan disampaikan oleh orang yang saya anggap melakukan “demitologisasi” pikiran saya tentang aktor dan sutaradara: saya selama ini menganggap bahwa seorang sutradara dan aktor di Indonesia tidak akan pernah melewati usia 50 tahun; jenjang kedahsyatannya hanya sampai setengah abad, dan rentang waktu profesi yang dijalaninya sekitar 30 tahun, jika dihitung dia memulai masuk panggung pada usia 20-an tahun. Dan Putu Wijaya, seperti yang pernah beberapa tahun yang lampau saya saksikan berulangkali, dia mampu berada dipanggung, menyatakan dirinya, membawakan lakon yang ditulisnya sendiri sebanyak 4 (baca: empat!!) lakon sepanjang rentang waktu sekitar 100 menit dengan jeda 1-2 menit!! Dan nampak, dia tak berasa mengalami kelelahan, dan sepanjang itu pula sekitar seribuan penonton dipukau oleh kepiawaiannya sebagai aktor. Diantara itu, saya merasakan ada sejenis enerji yang membuat ruang yang ada di dalam dada saya mengalami sesuatu getaran yang selama beberapa hari terus terbawa ke dalam kehidupan keseharian saya. Yang sangat menarik, sebagai aktor yang telah memasuki tahapan bukan lagi kutak-kutik aspek artistik, Putu Wijaya terasa menciptakan ruang dan mengikat siapa saja yang hadir. Dengan kata lain, saya yakin bahwa Putu Wijaya bisa bermain dimana saja, di ruang tamu sebuah rumah, di sebuah mall, di tengah pasar, di sebuah kafe dan di sebuah lobi kantor. Saya teringat dengan apa yang pernah dinyatakan oleh salah eorang pelaku teater dan butoh Jepang, kalau tidak salah, Takeyama, yang menyatakan: seorang aktor, dunia teater menciptakan ruang kehidupan, sama seperti para pemain Lenong dan Ubrug atau Ludruk yang bisa dan mampu mengisi ruang apa saja.
Mak Coppong, mpu Pakarena dari Kampili, kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa, kini usianya sekitar menjelang 90 tahun (pada waktu usia remaja tahun 1930, pada hari ulang tahun ratu Belanda, Mak Coppong menari, atas permintaan pemerintah kolonial di Gowa), selalu menari di rumahnya ketika tamu datang berkunjung, seperti yang selalu saya alami jika saya mengunjungi satu-satunya maestro Pakarena yang kini masih hidup. Dan Mak Coppong masih menari Salonreng dalam ritual untuk desa atau desa tetangganya. Beberapa tahun terakhir ini Mak Coppong terlibat dalam garapan Robert Wilson, I La Galigo, berkeliling keberbagai penjuru dunia, memasuki ruang publik yang lebih luas. Walaupun tidak sekerap Mak Coppong, salah seorang mpu tari di Malino, Mak Ci’da, menjelang usia 70-an tahun juga sesekali menari diantara kesibukannya sebagai petani. Kita juga mengenal dari daerah pesisir pantai Utara Jawa Barat, Karawang, Mimi Rasinah berumur 70-an, dan masih perkasa dengan tari Topeng Kelananya. Dari geografi kultural Cirebon dan Losari kita pernah mengenal almarhumah Ibu Sawitri, Ibu Dewi, Ibu Suji, semua para sesepuh dunia tari topeng yang selalu membuat kita bergetar, dan mereka menari sampai usia senja. Begitu juga dengan Pak Tukas, Klaten, penari Topeng yang meninggal beberapa tahun yang lampau, diantara kesibukannya sebagai kusir pedati dan petani, menari dan mengajar sampai takdir menjemput dirinya. Beberapa tahun yang lampau saya berkesempatan mengunjungi dan terlibat dalam berbagai kegiatan di pedalaman Kalimantan Timur, Kutai Barat, saya menyaksikan Pak Belawing, ketua adat Dayak Bahauw, yang selalu menari dengan perkasa dalam setiap upacara di desanya Saya kira usianya menjelang 70 tahun dan telah memiliki beberapa orang cucu.
Di Sulawesi Barat, dilingkungan geografi kultural Mandar, di kecamatan Tinambung ada Mak Camanna (72 tahun), guru Emha Ainun Najib, seorang mpu Parawanna Towaine, maestro rebana untuk jenis perempuan yang selalu menyajikan Salawat Nabi dalam bahasa Mandar. Di tetangga desanya ada Abana Fatima seangkatan dengan Mak Camanna, mpu Kacaping, Calong, Gongga Lawe, sama persis seperti Pak Tombo (84 tahun) diantara kesibukannya sebagai petani selalu tampil dilingkunganya, menghibur dan mengingatkan masyarakat lingkungannya tentang nilai-nilai sejarah sosial yang pernah dikandung dan kini sebagian masih diyakini disampaikannya melalui keterampilannya sebagai seniman. Sementara itu, Pak Madeng (76 tahun) mpu silat Mandar yang mempunyai pengalaman mengajar di berbagai daerah dan telah memasuki ratusan arena pertandingan silat sejak tahun 1950-an, membuat kita terkaget-kaget dengan gerakan yang ringkas, cepat, gesit, dan pandangan matanya yang tajam senantiasa mengarah kepada berbagai bagian tubuh yang dia pahami seperti seorang ahli anatomi.
Berbagai gambaran singkat diatas yang pernah saya temui sepanjang perjalanan saya, adalah sebagian dari perngalaman saya bertemu dengan para mpu, para maestro tradisi nusantara, dan saya yakin masih ada ratusan yang tersebar dipenjuru tanah air ini, dan mereka masih tangkas, dan selalu masih mengisi kehidupan dengan apa yang dimilikinya sebagai bagian dari kontribusi mereka didalam kehidupan nilai-nilai dan berusaha tetap eksis. Dan apa yang saya sampaikan disini, semacam pertanyaan dan gugatan kepada orang yang secara pribadi, dan kita semua menghormatinya, Sardono W. Kusumo, yang merasa telah memasuki usia senja dalam dunia kepenarian. Sementara itu, dalam diri saya, dan mungkin juga masih banyak orang yang mengharapkan dari salah satu tokoh pembaharu dunia panggung ini melahirkan berbagai jenis teknik, metode, konsep seputar dunia tari, yang dihasilkan dari pengalaman dan eksplorasi pribadinya. Ada sementara orang yang menyatakan secara gampangan, “Sardono ‘kan sudah cukup sebagai penari, dan kini dia menjadi koreografer, direktur artistik dan sutradara”. Dan saya teringat dengan apa yang dinyatakan oleh Sardono W. Kusumo sekitar belasan tahun yang lampau dalam suatu diskusi pada acara temu tari di Solo: “Perlukah seseorang menjadi koreografer, jika dirinya memang lebih baik sebagai penari?” Koreografer handal kita ini pada waktu itu, menurut tafsiran saya, ingin menyatakan bahwa para pelaku dunia tari (yang masih muda belia) sebaiknya menjelajahi sepenuhnya berbagai penjuru dunia itu dan mematangkan dirinya. Menjadi koreografer bukanlah salah satu pilihan utama dalam dunia tari. Dan yang terpenting lagi untuk memupus cara berpikir “dikotomis” yang memang tidak ada dalam tradisi dunia tari kita: bahwa menjadi penari yang baik, sama baiknya dengan seorang koreografer. Dengan kata lain, berarti tidak ada batas waktu dan usia bagi siapa saja pelaku dunia tari untuk menggapai jatidirinya, tanpa terpilah-pilah, dan selalu berada di lingkungannya: kita masih ingin menyaksikan pembuktian seseorang seperti Sardono W. Kusumo yang telah berhasil menafsirkan berbagai tradisi nusantara dan mengolahnya dengan unsur tradisi mancanegara dengan kecerdasannya yang telah menghasilkan karya genuine yang membuat dirinya selama rentang waktu 40-an tahun hadir ditengah-tengah kita. Dan justeru dengan itu pula kita perlu menggugat cara berpikir yang “dikotomis”: “cukup sudah sebagai penari, pensiun, dan kini posisinya sebagai koreografer, direktur artistik dan sutradara”.***
Makassar 9 Maret 2007
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo

No comments:

Post a Comment