KODE-4

Wednesday, April 18, 2007

Kuratorial Tari: Waktu, Data, dan Kejujuran


OLEH Halim HD


Di dalam peristiwa kebudayaan yang kita sebut festival yang telah menjadi tema kehidupan masyarakat seniman yang sepanjang tahun selalu dinanti-nantikan oleh pelaku, kritisi, pengamat dan publik senantiasa berhadapan dengan problema: adakah acara itu sebagai suatu peristiwa milik masyarakat bersama, ataukah hal itu sebagai acara yang digarap oleh event organizer yang kini kian menjamur dimana-mana, yang ingin mengumpulkan kalangan seniman dan mengajak kepada pelaku kesenian untuk menyajikan karya-karya yang dianggap layak untuk ditonton. Pada peristiwa seperti itu, kita sering bertanya-tanya, bagaimana mungkin misalnya sebuah acara dengan sejumlah embel-embel yang telah disebarkan kepada masyarakat, namun selalu kita juga mengalami kekecewaan didalam menyaksikan isian acara itu.

Di suatu kota yang dianggap sebagai wilayah kebudayaan yang memiliki seni pertunjukan (tari) yang telah memiliki sebaran pengaruh yang kuat yang didukung oleh latar belakang sejarah dan kehidupan seni pertunjukannya, seperti Pekan Baru dengan kebudayaan Melayunya yang telah menjangkau wilayah nusantara dan Asia Tenggara (Singapura dan Malaysia), pada tahun 2005, dalam tajuk Pasar Tari Kontemporer, saya harus merasa kecewa dengan berbagai sajian karya tari yang diusung oleh masing-masing peserta yang datang dari berbagai daerah dari nusantara, dan diantaranya peserta dari Malaysia. Beruntung, seperti yang saya dengar dari beberapa jurnalis yang mengamati acara itu, ada karya tari koreografer muda dari Solo, Fitri. Kata “beruntung” karena “konon” acara itu menghabiskan biaya sekitar 600 juta rupiah!! Dan bagaimana dengan biaya yang sebesar itu bisa menghasilkan suatu pemberitaan yang layak dibaca untuk media yang berdomisili di “pusat”. Maka apa yang disajikan selama beberapa malam itu, diantara diskusi yang digelar pada pagi hari, yang tema serta berbagai komentarnya terasa kurang memiliki bobot yang cukup kuat untuk memandang masalah dunia seni pertunjukan, acara itu berjalan sebagaimana sebuah kerutinan. Tentu ada “kegembiraan” yang muncul lantaran suatu acara senantiasa mengundang pertemuan antara rekan sesama profesi, ditambah dengan ulasan media dari “pusat” yang dianggap bisa mengobati kekecewaan dan sebagai lampiran laporan.
Di kota lainnya, di Surabaya misalnya selalu juga terjadi dimana festival tari senantiasa mengundang kekecewaan yang menghasilkan semburan ungkapan dari rasa frustrasi kalangan pemgamat dan peminat dunia tari. Saya kira, hal semacam itu juga terjadi di Makassar yang dalam enam-tujuh tahun terakhir ini tak pernah ada festival tari yang cukup memadai isiannya sebagai khasanah bagi kita untuk dicatat sebagai perbendaharaan pengalaman hidup maupun intelektual. Festival tari di Makassar sekedar proyek yang digarap dengan rentang waktu yang pendek, dan panitia yang juga cenderung menggampangkan masalah: yang penting mereka mendapatkan sekedar pengisi kocek dan menambah curriculum vitae sebagai event organizer yang nantinya dibutuhkan dalam melamar untuk magang atau woksyop manajemen seni pertunjukan. Yang sangat merepotkan sekali, begitu banyak orang di Makassar yang sekedar tahu atau beberapa kali menyaksikan karya tari dan mengenal pelaku, menganggap dirinya sebagai “kurator”. Maka lengkaplah dunia tari yang amburadul yang semula kita harapkan bisa ikut mengisi perbendaharan kehidupan tari di nusantara.
Beberapa contoh yang saya gambarkan selintas itu mencerminkan tiadanya suatu kuratorial didalam festival yang benar-benar dijalankan secara konsisten, walaupun tentu dalam susunan kepanitiaan selalu tercantum beberapa orang kurator, sebagaimana juga Pastakom (Pasar Tari Kontemporer) Pekan Baru yang sungguh membuat kita pada awalnya bergembira lantaran sejumlah nama dedengkot yang dianggap punya kelas “nasional” terlibat sebagai “dewan artistik”. Tapi, nampaknya di Indonesia, boleh dikatakan tidak ada korelasi logis antara sejumlah kurator atau “dewan artistik” dalam festival tari dengan isiannya. Mungkin yang masih bisa kita anggap berbobot, khususnya dalam 2-3 tahun terakhir ini, setelah masa yang “kering”, adalah IDF (Indonesia Dance Festival”) di Jakarta yang senantiasa menyampaikan rumusan temanya. Inipun, kalau kita jeli, kurator masih juga “kecolongan”: karya dari Makassar yang disajikan pada IDF 2006, sungguh jauh dari layak untuk diundang dan disajikan. Dan hal itu, berhubungan dengan watak, sejauh mana kejujuran peserta yang telah diundang oleh penitia melalui rekomendasi kurator benar-benar menggarap karya itu sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam proposal. Repotnya, nampaknya kita berhadapan dengan suatu kondisi dimana pelaku seni pertunjukan “lebih lihai” dalam menyusun kata-kata, kalimat demi kalimat untuk “mengelabui” kurator dan panitia ketimbang menggarap karyanya secara intensif dan mendalam yang didasarkan kepada riset dan pelacakan khasanah atau dari proses pencarian tehnik-tehnik baru. Tapi, bisakah sepenuhnya disalahkan kepada pelaku, peserta festival? Kenapa seorang kurator meloloskan suatu karya tanpa melihatnya lebih dulu dan sekedar mengandalkan rekaman, yang bukan tidak mungkin terdapat “manipulasi” akibat perkembangan tehnologi komputer? Dan kenapa pula sang kurator tidak meminta pertimbangan kepada koleganya di berbagai daerah yang dianggap memiliki jaringan informasi dan data tentang pelaku dan garapan yang dianggap layak masuk kedalam suatu klasifikasi dalam suatu festival? Bukankah sang kurator semestinya jauh-jauh hari telah memiliki informasi dan data yang sejak awal sudah ada dalam file informasinya?
Nah, disini kita menyaksikan korelasi logis antara ketidakjujuran pelaku, keteledoran kurator dan panitia dengan kehendak pelaku yang sekedar ingin mendapatkan isian dalam curriculum vitae dan kredit untuk kenaikan jenjang kepangkatan. Dan sekali lagi perlu kita tegaskan disini, untuk mengatasi soal itu diperlukan kurasi yang cerdas, teliti, akurat dan didasarkan kepada data perkembangan yang paling mutahir. Dan hal itu bukan suatu kesmutahilan untuk dikerjakan. Soal yang ada, seperti biasanya festival tari di Indonesia walaupun rancangan gagasannya lama digarap rumusannya, tapi penyebaran informasinya kepada berbagai pelaku terasa lamban: selalu mendadak, dan seakan-akan sebuah karya memang bisa dipesan seperti kita memesan nasi atau bakmi goreng.
Di antara problematika yang kita hadapi itu ada suatu hal yang bisa kita harapkan: peran perguruan tinggi seni pertunjukan (tari) bisa memberikan kontribusinya. Harapan ini tentunya pula mesti didasarkan kepada cara pandang dan sikap yang benar-benar dilandaskan kepada kejujuran. Sebab, kita juga tahu pat-gulipat didalam birokrasi pendidikan kita sering memperangkap panitia dan kurator (yang terbatas waktu dan dana untuk biaya keliling pemantauannya) yang menggunakan lembaga itu sebagai jaringan informasinya. Dan lembaga ini perlu menegaskan diri secara konkrit bahwa festival sebagai suatu indikator untuk melihat perkembangan mutahir dunia tari, mesti kembali kepada watak yang sesungguhnya: bahwa festival adalah bukan sekedar sebuah acara, tapi suatu peristiwa kebudayaan, upaya merayakan secara bersama-sama yang didasarkan kepada tetesan keringat dalam proses pencarian jatidiri setiap pelaku yang berangkat dari lingkungan geografi kulturalnya, dan disitu pula dirinya mempertaruhkan lubuk hatinya yang paling dalam.***
Makassar, 8 Maret 2007
Halim HD. Networker Kebudayaan Forum Panilih

No comments:

Post a Comment