KODE-4

Tuesday, April 17, 2007

Festival Kesenian Yogya dan Ruang Publik


OLEH Halim HD


Sebulan-dua yang lalu saya mendapatkan kiriman email dari seorang rekan di Yogyakarta yang mengundang saya untuk terlibat dalam seminar tentang FKY (Festival Kesenian Yogyakarta). Karena saya berada di Makassar, maka saya kirimkan beberapa catatan sebagai kontribusi saya yangs elama ini melibatkan diri dalam berbagai festival di Jawa maupun luar-Jawa. Dalam kaitan dengan hal itu, ada baiknya, yang sesungguhnya untuk kesekian kalinya saya menulis tentang hal ini, membicarakan kembali, merenungi apa sesungguhnya sebuah festival, dan bagaimana sebuah kota yang dilanda oleh derasnya ekonomisasi ruang, mampu membuat festival yang bukan hanya untuk seniman saja, tapi yang terpenting adalah bagaimana melibatkan berbagai lapisan masyarakat.

Yogyakarta yang telah dianggap memiliki tradisi festival yang secara rutin digelar setiap tahun, yang isian dari pespektif tradisi maupun moderen-kontemporer, berusaha melakukan pembenahan diri. Pembenahan itu sehubungan dengan secara kontinyu acara digelar namun masih dirasakan belum secara maksimal melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Sekaten, salah satu puncak dalam kehidupan kebudayaan masyarakat di Yogyakarta (juga Solo dan Cirebon) yang memiliki akar yang kuat yang telah tertanam, dan dianggap sebagai festival yang mesti dilakukan oleh pihak penguasa tradisi, kraton, nampaknya belakangan ini, dalam rentang lima tahun terakhir mengalami pergeseran yang kuat. Hal itu dikarenakan masuknya event organizer yang mengelola festival tradisi itu yang sangat menekankan kepada segi pameran perdagangan. Dengan pengelolaan seperti itu, maka keterlibatan berbagai lapisan warga kota dan desa sebagai pendukung Sekaten mengalami tingkat kemerosotan dalam bentuk ekspresi kegembiraan bersama. Hal terakhirlah yang kita rasakan semakin surut atau bahkan hilang dari sebuah festival.
Sesungguhnya Sekaten dengan pameran dagang bukanlah hal yang baru. Jika kita membuka-buka foto lama koleksi Pura Mangkunegaran misalnya, dan kita jadikan fotografi sebagai data historis dan sosiologis, maka pada era sebelum kemerdekaan kita bisa melihat bagaimana berbagai jenis produk telah dipamerkan dan disitu pula kita menyaksikan berbagai perusahaan dari tingkat lokal sampai internasional: perusahaan Belanda, Inggris dan Cina sudah berhimpitan memamerkan produk-produknya. Yang berbeda mungkin pada keterlibatan masyarakat lapisan bawah dengan tanda yang kuat dari adanya berbagai jenis warung dan produk industri rumah, kerajinan dan khususnya makanan yang memiliki identitifikasi kuat sebagai bagian dari ritual. Sementara Sekaten sekarang, dengan adanya dinas pariwisata dengan birokrasinya serta perspektif politik ekonomi menjadikan Sekaten dalam proses ekonomisasi senibudaya dan ritual. Hal itu secara gamblang menjadi bagian yang tak terhindarkan dari kondisi masakini akibat “ideologi angka” yang sudah demikian kuat merasuk kedalam kehidupan sosial maupun personal. Soalnya kini yang ingin kita gugat sehubungan dengan Sekaten dan berbagai festival yang ada di Yogyakarta, adalah bahwa sekaten sebagai sebuah upacara legitimasi untuk penguasa tradisi yang dianggap valid, dan tentunya pula memiliki kemestian moral untuk juga memberikan peluang, ruang sosial bagi warga untuk terlibat dan menyatakan diri, dan meletakan kembali upacara, ritual sebagai milik warga, kota maupun desa. Sebab, satu hal yang terpenting dari sebuah festival mislanya sejenis Sekaten, peristiwa itu merupakan suatu “rujuk-budaya” yang sekaligus pula sebagai proses penguatan kembali memori warga kepada rentang waktu yang lampau sebagai miliknya, dam bukan hanya milik penguasa tradisi, kraton, apalagi dinas pariwisata.
Peluang inilah yang makin jarang kalau tidak ingin dikatakan langka. Dalam hal ini, mungkin kita bisa belajar dari peristiwa yang digelar pada “Festival Nitiprayan”, suatu rangkuman berbagai acara dari Yogyakarta dan berbagai seniman dari kota lain yang dikelola oleh kalangan seniman yang bermukim di sekitar Nitiprayan dan warga kampung itu. Disitu kita dapat merasakan kekuatan dan semburan enerji warga yang demikian kuat dan kental, dan kita dapat pula merasakan solidaritas yang menjadi tulang punggung kehidupan kebudayaan dan sosial di lingkungan kita. Hal yang agak mirip, walau tingkat keterlibatan masyarakat belum sepenuhnya pernah terjadi juga festival gamelan yang dikelola oleh musisi Sapto Raharjo, yang pernah menggelar beberapa kali acara di sepanjang jalan di dekat studio radio Geronimo. Belajar dari pengalaman dua wilayah ini, sangat perlu bagi seniman dan pemkot Yogyakarta beserta lembaga kesenian-kebudayaan yang ada memikirkan untuk bagaimana suatu ruang publik yang masih tersisa di kota Yogyakarta untuk dijadikan sebagi lahan-lahan bagi acara festival.
Diantara proses ekonomisasi yang kian deras dalam ruang perkotaaan, sementara itu kebutuhan warga untuk menyatakan diri, maka diperlukan suatu pengembangan strategi tata ruang perkotaan dalam kaitannya dengan festival yang sepenuhnya dikelola oleh warga dan melibatkan seniman yang bermukim disekitarnya. Selama ini kita memang banyak menyaksikan berbagai acara yang dikelola oleh kalangan seniman yang dengan antusias diliput oleh media. Namun jika kita menelusuri lebih mendalam, maka kita saksikan bahwa sesungguhnya acara itu hampir-hampir sepenuhnya adalah acara kalangan seniman sendiri. Warga kota kurang dilibatkan. Terkecuali kedua acara yang saya sebutkan di atas. Kita sebenarnya bisa banyak mengambil contoh, misalnya Kenduri atau festival di Tutup Ngisor yang dimotori oleh seniman gunung Sitras Anjilin beserta keluarganya dan dibantu oleh Sutanto Mendut, termasuk diantaranya Festival Lima Gunung. Di lingkungan Tutup Ngisor dengan tradisi hampir seratus tahun, yang sangat menarik warga satu dengan lainnya saling mengisi. Dan yang paling unik, walau orang gunung identik dengan ketradisian, mereka terbuka dengan gamblang untuk menerima kehadiran berbagai jenis dan bentuk kesenian moderen. Dengan itu pula, Tutup Ngisor yang memiliki kapasitas adaptatif budaya yang kuat, tak canggung bergaul dengan seniman kota.
Kita juga memang menyaksikan berbagai soal yang dihadapi oleh warga ketika mereka ingin menyelenggarakan sebuah ritual yang bisa dianggap sebagai festival, seperti Hudoq, suatu ritual menjelang menanam dan panen padi. Kemerosotan tingkat ekonomi lokal misalnya membuat sebuah Erau (bahasa Dayak, artinya pesta bersama, festival) mungkin agak kurang meriah. Jika saja pihak pengelola pariwisata cerdas, mereka tentunya bisa menangkap realitas itu, seperti halnya realitas kenaikan tingkat ekonomi yang membuat sebuah Erau akan lebih meriah. Dan didalam Erau itu pula kita menyaksikan masih begitu banyak khasanah yang dipahami dengan baik oleh warga Dayak, walau diantara krisis lantaran derasnya pengearuh teve, dan makin berkurangnya pertemuan warga secara kontinyu dalam pertemuan. Hal yang terakhir ini akibat penetrasi dinas pariwisata dan staf pemda yang keminter. Sepanjang pengetahuan saya, keterlibatan birokrasi pariwisata yang kurang paham secara mendalam, namun selalu ingin tampil didepan, dan disana pula mereka menyusun program dengan cara yang artifisial, menambah berbagai acara tanpa tahu konteks dan tentu sejumlah pidato yang selalu saja menekankan dan merasa yakin bahwa dunia pariwisata akan mengangkat harkat sosial dan tingkat kehidupan ekonomi warga. Berpuluh tahun sejak proses pembangunan berjalan, dalam konteks Hudoq, tak pernah terbukti. Bahkan mereka kian tergantung oleh cara-cara proyekan yang sangat dangkal, yang ujung-ujungnya adalah kepentingan kocek kalangan birokrat itu sendiri.
Kegelisahan kita dalam konteks Yogyakarta (dan juga kota-kota lainnya) adalah terletak pada makin kurangnya ruang-ruang ekspresi bersama (public space) bagi warga untuk menyatakan diri, menyatakan kegembiraan mereka dalam keberhasilan, rasa syukur yang berakar pada tradisi di lingkungannya. Contoh yang paling menarik misalnya peristiwa yang paling pribadi dan selalu memiliki kekuatan ikatan sosial yang kuat yang melibatkan semua orang kedalam upacara bersama: jarang sekali kita temukan sekarang ini pesta perkawinan atau slametan yang melibatkan warga, sebuah pesta dikampung. Hal itu karena kampung-kampung sudah kehilangan latar amba, tanah lapang yang bisa dijadikan sebagai wilayah mereka untuk melakukan upacara.
Sangat penting bagi kita secara bersama-sama memikirkan ruang sosial bagi warga, dan bukan hanya memikirkan galeri atau pusat kesenian. Sebab, jika kita tidak melakukan gerakan bersama untuk hal itu, dan menyerahkan begitu saja kepada pemkot serta legislatif atau politisi yang lebih banyak memikirkan koceknya sendiri, maka kota akan kehilangan berbagai ekspresi yang paling manusiawi. Dan hal itu akan berakibat munculnya berbagai tindak kekerasan yang akan memenuhi jalanan, lantaran mereka dipenuhi oleh wishful thingking yang dijejalkan melalui teve dan iklan-iklan!***
Makassar, 12 Maret 2007
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo

No comments:

Post a Comment